Tidak
dapat dipungkiri, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Perkembangan arus globalisasi nyatanya
telah menciptakan pergeseran nilai-nilai kehidupan di masyarakat. Globalisasi
telah membentuk masyarakat menjadi skeptis terhadap kebudayaan sekitar.
Kebudayaan dan peradaban yang sejatinya merupakan karya cipta manusiapun telah
bergeser nilai-nilainya, sehingga tanpa kita sadari, kebudayaan dan peradaban
tersebut perlahan menghilang dan terlupakan di masyarakat.
Sementara
itu, orang tak mungkin tak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari
orang melihat, mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan.
Lalu, apakah yang disebut kebudayaan tersebut? Selo Soemarjan, Antropolog Indonesia
merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Sementara E.B. Taylor (1871) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat
dan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Perkembagnan
zaman telah ‘memaksa’ terjadinya pergeseran budaya. Pergeseran kebudayaan
tersebut terlihat pada perkembangan masyarakat saat ini. Boleh jadi manusia
sekarang lebih “melek” terhadap laju kemajuan teknologi, namun “buta” terhadap
perkembangan sosial budayanya dan “malas” untuk berinteraksi dengan sesama. Hal
ini terlihat jelas bahwa saat ini masyarakat lebih tertarik untuk
menyaksikan acara-acara infotainment di televisi, mem-viralkan hal-hal
menarik/humor/sensasional dan ‘menghebohkan’ sosok-sosok yang fenomenal di
berbagai jejaring sosial.
Di
sisi lain, tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa ada begitu melimpah
kearifan lokal di masyakat yang selayaknya dikaji dan perkenalkan pada khalayak
umum di seluruh nusantara untuk menjaga tradisi dan budaya itu tetap
lestari. Keunikan-keunikan budaya tersebut sesungguhnya memiliki nilai penting
tidak hanya kepunyaan masyarakt lokal tetapi juga negeri ini.
Di
Provinsi Banten misalnya terdapat Tatar Sunda. Sebagaimana diketahui bahwa
Provinsi Banten sebagian besar masyarakatnya merupakan suku Sunda. Menariknya,
masyarakat Sunda memiliki banyak teka-teki berbahasa Sunda yang saat ini
eksistensinya mulai tergerus oleh kemajuan zaman. Bisa dikatakan, sudah jarang
sekali masyarakat yang bemain teka-teki.
Teka-teki
atau dalam Bahasa Sunda disebut ‘Babadean’ adalah tradisi lisan masyarakat yang
biasanya diucapkan oleh masyarakat di waktu-waktu senggang, seperti ketika
sedang berkumpul bersama keluarga, tetangga atau teman, baik itu di rumah,
pasar dan tempat-tempat lainnya. Teka-teki ini bisa juga dikatakan sebagai
bentuk hiburan masyarakat kala itu. Dr. Sukatman (2010), mengartikan teka-teki
sebagai media pendidikan nilai dan media komunikasi budaya bagi masyarakat
biasa.
Teka-teki masyarakat Banten merupakan salah
satu kearifan lokal yang patut kita lestarikan. Berkembangnya teka-teki di
masyarakat pada zaman dulu menandakan bahwa masyarakat Banten khususnya Tatar Sunda
memiliki tradisi lisan yang cukup baik. Berikut beberapa contoh teka-teki
berbahasa Sunda yang cukup populer di sebagian kalangan;
‘Aki-aki ragag
surak?’ Jawabannya adalah ‘Baralak’. (kakek-kakek jatuh sambil berteriak?), Jawabnya ‘baralak’
(daun kelapa yang sudah kering dan berwarna kecoklatan yang jatuh dan
menimbulkan suara yang berisik). Daun kering ini dianalogikan seperti manusia
yang sudah tua.
“Buah-buah naon
anu isi beteungna sakumaha ceuk bujur?” Jawabanya adalah
manggu. Maksudnya adalah buah-buah apa yang isi perutnya sesuai dengan apa yang
ada di pantatnya? Jawabannya adalah buah manggis. Buah berkulit kecokelatan ini
memiliki daging yang putih dan biasanya jumlah isinya sesuai dengan jumlah
bunga di bagian pangkal buah.
“Dideuleu teu kedeuleu, diragap ayaan?”
Jawabannya adalah Ceuli. Maksudnya adalah dilihat tidak terlihat, diraba ternyata
ada, dan ceuli artinya adalah telinga. Coba kita raba telinga kita dan itu akan
teraba, tapi tidak dapat terlihat, kecuali dengan bantuan cermin.
“Asup hejo kaluar beureum?”
Jawabannya adalah Nyeupah. Maksudnya
adalah ketika masuk berwarna hijau, ketika keluar berwarna merah. Nyeupah
adalah kebiasaan wanita zaman dulu mengunyah daun sirih yang dicampur dengan
beberapa rempah-rempah, digulung lalu dikunyah tapi tidak ditelan. Setelah
nyeupah biasanya air liur dan bagian mulut orang yang nyeupah akan berwarna
merah. Konon katanya nyeupah bisa
digunakan menguatkan gigi.
Teka-teka
ini tergolong jenis teka-teki yang cukup mudah ditebak dan populer di
masyarakat. Namun, saat ini tidak banyak orang yang mengetahuinya. Pada
dasarnya masih banyak teka-teki yang beredar di masyarakat Sunda. Hal ini
menjadi tugas kita untuk mengkaji lebih dalam dan memperkenalkan kembali pada
masyarakat luas. Sehingga diharapkan kearifan lokal yang berharga ini tidak
punah dan bisa menjadi media pendidikan bagi generasi mendatang.
Sejatinya, bernostalgia, menembus ruang dan waktu, dan mengingat setiap
hal baik yang terjadi di masa lalu adalah hal yang menarik. Bagaimana di daerah
lain? Pasti lebih banyak lagi.
*Artikel ini pernah dimuat di Kenali.co pada 19 Februari 2018