Jumat, 13 April 2018

Teka-Teki Tradisional; Kearifan Lokal yang Mulai Terpinggirkan

Tidak dapat dipungkiri, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Perkembangan arus globalisasi nyatanya telah menciptakan pergeseran nilai-nilai kehidupan di masyarakat. Globalisasi telah membentuk masyarakat menjadi skeptis terhadap kebudayaan sekitar. Kebudayaan dan peradaban yang sejatinya merupakan karya cipta manusiapun telah bergeser nilai-nilainya, sehingga tanpa kita sadari, kebudayaan dan peradaban tersebut perlahan menghilang dan terlupakan di masyarakat. 
Sementara itu, orang tak mungkin tak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat, mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Lalu, apakah yang disebut kebudayaan tersebut? Selo Soemarjan, Antropolog Indonesia merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sementara E.B. Taylor (1871) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 
Perkembagnan zaman telah ‘memaksa’ terjadinya pergeseran budaya. Pergeseran kebudayaan tersebut terlihat pada perkembangan masyarakat saat ini. Boleh jadi manusia sekarang lebih “melek” terhadap laju kemajuan teknologi, namun “buta” terhadap perkembangan sosial budayanya dan “malas” untuk berinteraksi dengan sesama. Hal ini terlihat jelas  bahwa saat ini masyarakat lebih tertarik untuk menyaksikan acara-acara infotainment di televisi, mem-viralkan hal-hal menarik/humor/sensasional dan ‘menghebohkan’ sosok-sosok yang fenomenal di berbagai jejaring sosial. 
Di sisi lain, tidak banyak masyarakat yang menyadari bahwa ada begitu melimpah kearifan lokal di masyakat yang selayaknya dikaji dan perkenalkan pada khalayak umum di seluruh nusantara untuk menjaga tradisi dan  budaya itu tetap lestari. Keunikan-keunikan budaya tersebut sesungguhnya memiliki nilai penting tidak hanya kepunyaan masyarakt lokal tetapi juga negeri ini. 
Di Provinsi Banten misalnya terdapat Tatar Sunda. Sebagaimana diketahui bahwa Provinsi Banten sebagian besar masyarakatnya merupakan suku Sunda. Menariknya, masyarakat Sunda memiliki banyak teka-teki berbahasa Sunda yang saat ini eksistensinya mulai tergerus oleh kemajuan zaman. Bisa dikatakan, sudah jarang sekali masyarakat yang bemain teka-teki. 
Teka-teki atau dalam Bahasa Sunda disebut ‘Babadean’ adalah tradisi lisan masyarakat yang biasanya diucapkan oleh masyarakat di waktu-waktu senggang, seperti ketika sedang berkumpul bersama keluarga, tetangga atau teman, baik itu di rumah, pasar dan tempat-tempat lainnya. Teka-teki ini bisa juga dikatakan sebagai bentuk hiburan masyarakat kala itu. Dr. Sukatman (2010), mengartikan teka-teki sebagai media pendidikan nilai dan media komunikasi budaya bagi masyarakat biasa. 
Teka-teki masyarakat Banten merupakan salah satu kearifan lokal yang patut kita lestarikan. Berkembangnya teka-teki di masyarakat pada zaman dulu menandakan bahwa masyarakat Banten khususnya Tatar Sunda memiliki tradisi lisan yang cukup baik. Berikut beberapa contoh teka-teki berbahasa Sunda yang cukup populer di sebagian kalangan; 
‘Aki-aki ragag surak?’ Jawabannya adalah ‘Baralak’. (kakek-kakek jatuh sambil berteriak?), Jawabnya ‘baralak’ (daun kelapa yang sudah kering dan berwarna kecoklatan yang jatuh dan menimbulkan suara yang berisik). Daun kering ini dianalogikan seperti manusia yang sudah tua.
“Buah-buah naon anu isi beteungna sakumaha ceuk bujur?” Jawabanya adalah manggu. Maksudnya adalah buah-buah apa yang isi perutnya sesuai dengan apa yang ada di pantatnya? Jawabannya adalah buah manggis. Buah berkulit kecokelatan ini memiliki daging yang putih dan biasanya jumlah isinya sesuai dengan jumlah bunga di bagian pangkal buah.
“Dideuleu teu kedeuleu, diragap ayaan?”  Jawabannya adalah Ceuli. Maksudnya adalah dilihat tidak terlihat, diraba ternyata ada, dan ceuli artinya adalah telinga. Coba kita raba telinga kita dan itu akan teraba, tapi tidak dapat terlihat, kecuali dengan bantuan cermin.
“Asup hejo kaluar beureum?” Jawabannya adalah Nyeupah. Maksudnya adalah ketika masuk berwarna hijau, ketika keluar berwarna merah. Nyeupah adalah kebiasaan wanita zaman dulu mengunyah daun sirih yang dicampur dengan beberapa rempah-rempah, digulung lalu dikunyah tapi tidak ditelan. Setelah nyeupah biasanya air liur dan bagian mulut orang yang nyeupah akan berwarna merah. Konon katanya nyeupah bisa digunakan menguatkan gigi.
Teka-teka ini tergolong jenis teka-teki yang cukup mudah ditebak dan populer di masyarakat. Namun, saat ini tidak banyak orang yang mengetahuinya. Pada dasarnya masih banyak teka-teki yang beredar di masyarakat Sunda. Hal ini menjadi tugas kita untuk mengkaji lebih dalam dan memperkenalkan kembali pada masyarakat luas. Sehingga diharapkan kearifan lokal yang berharga ini tidak punah dan bisa menjadi media pendidikan bagi generasi mendatang.  Sejatinya, bernostalgia, menembus ruang dan waktu, dan mengingat setiap hal baik yang terjadi di masa lalu adalah hal yang menarik. Bagaimana di daerah lain? Pasti lebih banyak lagi. 


*Artikel ini pernah dimuat di Kenali.co pada 19 Februari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar