Rabu, 24 Oktober 2018

Biografi Abuya Aliyuddin Cikadueun


Riwayat Keluarga
Desa Cikadueun disebut sebagai desa yang agamis. Hal ini didasarkan pada banyaknya para ulama dan para santri di desa ini. Salah satu ulama yang berperan penting dalam perkembangan dan kemajuan Islam di Desa Cikadueun adalah Abuya Aliyuddin. Ulama yang tidak hanya berjuang dalam mengembangkan keislaman  tapi juga turut membantu perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Abuya Aliyuddin lahir pada tahun 1891 di Kp. Jaha, Cikadueun. Tanggal kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Abuya merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bernama KH. Aslah dan ibunya bernama Arnawati. Saudaranya bernama Unib. Masa kecil abuya banyak dihabiskan di Kp. Jaha. Abuya Ali menikah ketika usianya sekitar 20 tahunan, ia menikah dengan Ibu Maemunah dari Desa Koncang. Dari pernikahannya ini abuya dikaruniai   orang anak. Tiga di antaranya meninggal ketika masih kecil. Yang tersisa enam orang anak yang kemudian meneruskan jejak abuya dalam mengembangkan ajaran Islam. Di antaranya adalah; KH. Misbah, KH. Udi, KH. Ambi, KH. Aton, dan Hj. Iyah.
Setelah menikah abuya sempat berpindah-pindah tempat tinggal, sampai akhirnya menetap di tempat yang saat ini ditempati oleh keturunannya, sekitar tahun 1925, ketika abuya berusia 33 tahun, abuya mulai menetap di Desa Cikadueun, tepatnya di sebelah timur tempat pemakaman Syech Maulana Manshuruddin Cikadueun. Pada masa inilah abuya mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren al Manshuriyah.
Riwayat Pendidikan
Semasa kecil abuya sudah ditempa dengan pendidikan agama langsung dari ayahnya, kemudian ia melanjutkan belajarnya pada KH. Isa, salah satu ulama besar di Kp. Jaha, Cikadueun. Setelah menginjak  usia remaja abuya melanjutkan pendidikan agamanya ke salah satu pondok pesantren di Bojong Menteng. Dan yang terakhir abuya belajar pada Abuya Abdul Halim, Kadu Peusing selama tujuh tahun. Diketahui bahwa abuya juga pernah berguru pada Abuya Jassir ketika ia pergi ke tanah suci pada tahun 1930 dan mukim di sana selama satu tahun. Kemudian pada tahun 1975 ia pergi kembali ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Kiprah dan Kontribusi Abuya Aliyuddin
Abuya Aliyuddin adalah sosok ulama yang zuhud dan sederhana. Ia juga dikenal dengan ketegasannya dalam mendidik para santri. Sehingga tidak heran banyak santri-santrinya yang kemudian menjadi orang-orang yang berhasil. Ia adalah ulama yang mencetak generasi-generasi penerus Islam di masa kini. Selama 53 tahun, dengan penuh kesabaran, keuletan dan semangat yang tinggi beliau telah berhasil menjadikan pesantren banyak didatangi oleh para santri dari berbagai daerah baik dari di Banten maupun luar Banten, terutama santri yang paling banyak berguru datang dari daerah selatan Banten seperti Cibaliung, Munjul, Saketi dan lain sebagainya. Konon katanya santrinya mencapai ratusan orang.
Pola pengajaran yang diterapkan pada santri-santri di pesantrennya adalah pola pengajaran seperti di pesantren pada umumnya, yaitu sorogan dan bandungan. Semua kajian kelimuan diajarkan pada para santri, baik itu tafsir, fiqih, tasawuf, nahwu dan sorof, dan lain sebagainya. Namun yang lebih ditekankan adalah ilmu fiqih.
Diceritakan bahwa abuya adalah guru yang perhatian pada santri-santrinya. Pernah suatu ketika ada seorang santri yang menghadap abuya untuk meminta izin pulang ke rumah karena kehabisan beras. Kemudian abuya memanggil seseorang untuk membawakan sekarung beras lalu diberikan pada santri tersebut.
Perjuangannya dalam mengembangkan ajaran Islam di Desa Cikadueun penuh dengan tantangan. Baik yang datang dari masyarakat maupun yang datang dari luar masyarakat, yaitu para penjajah Belanda. Abuya hidup di zaman kolonialisme Belanda, juga merasakan bagaimana rasanya melakukan dan mendapatkan perlawanan dari para tentara Belanda. Selain aktif di bidang kajian keislaman abuya juga aktif melakukan gerilya bersama rekan-rekannya. Pernah suatu ketika abuya diseret oleh tentara Belanda dari Desa Cikadueun sampai Cimanuk. Bahkan pesantrenpun pernah jadi sasaran para tentara Belanda yang mengira pesantren tersebut adalah markas para gerilyawan. Sehingga mengakibatkan suasana yang tidak aman di Desa Cikadueun.
Selain terlibat langsung dalam perlawanan abuya juga menjadi tempat bagi masyarakat dan para gerilyawan untuk meminta nasihat dan meminta pengobatan. Pada masa itu, pengobatan medis tidak bisa diperoleh dengan mudah. Sehingga untuk mengobati luka dan sakit mereka datang pada abuya untuk dido’akan. selain itu, dalam bidang politik abuya memang tidak terlibat, tapi ia sangat mendukung eksistensi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
Dalam mendidik anak-anaknya abuya sangat tegas. Anak-anaknya diajarkan untuk hidup sederhana dan giat mengaji. Bahkan abuya selalu berpesan bahwa jika ingin bahagia dunia akhirat fokuslah mengaji. Abuya Aliyuddin wafat setelah selesai berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat maghrib, tepatnya pada hari selasa tanggal 10 Muharram 1398 atau tahun 1978. Setelah abuya wafat Pondok Pesantren Al Manshuriyah berganti nama menjadi Pondok Pesantren Bani Ali. Saat ini kegiatan pengajaran masih berlangsung dengan baik di bawah asuhan anak dan cucu Abuya Aliyuddin.

            Sumber
           Wawancara dengan KH. Udi, Saketi, 09 November 2015.
Wawancara dengan KH. Juned, Cikadueun, 10 November 2015.

*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam 
Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016

Biografi Abuya Damanhuri Cikadueun


1.      Riwayat Keluarga
KH. Damanhuri atau Abuya Daman lahir di Cidahu pada tahun 1920. Ia merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari seorang ayah yang bernama Arman bin Armani dan seorang ibu bernama Nyai Sanami. Kakak perempuannya bernama Hj. Siti Badriyah. Selain itu, Abuya Daman juga mempunyai saudara lain dari pernikahan ibunya, Nyai Sanami dengan Abuya Jassir yang tinggal di Arab Saudi. Di antaranya adalah Hj. Asmah (menikah dengan Abuya Dimyati Cidahu), Hj. Khodijah, dan H. Muhammad Arif.
Abuya Daman menghabiskan masa kecilnya di Arab Saudi, menginjak masa remaja ia kembali ke Tanah Air  dan menghabiskan masa remajanya sambil belajar di pondok pesantren Abuya Abdul Halim di Kadu Peusing. Setelah keluar dari pesantren tersebut ia menikah dengan Ibu Hj. Fidhoh, putri ke-4 dari seorang kyai besar di Cikadueun, KH. Zuhri. Dari pernikahannya dengan Ibu Hj. Fidhoh dikaruniai enam orang anak, di antaranya:
1.      Fauziyah
2.      Hj. Afifah
3.      Hj. Muti’ah
4.      Hj. Enok Mariyam
5.      Hj. Solehah
6.      Muhammad
Ketika anak-anaknya masih sangat kecil, Ibu Hj. Fidhoh meninggal dunia, tak lama setelah itu Abuya Daman menikah kembali dengan Ibu Faizah yang berasal dari Cihideung. Dari pernikahan yang kedua ini abuya tidak memiliki keturunan.
Abuya Damanhuri adalah sosok ulama yang dikenal dengan sifat tawadhunya, hidupnya banyak dihabiskan untuk belajar dan mengajar, sebisa mungkin ia menjauhi urusan dunia. Sebagai seorang ulama ia juga dikenal baik pada tetangganya, terlebih pada keluarga dan kerabatnya. Dalam mendidik anak-anaknya abuya lebih menekankan pada pengajaran ilmu keagamaan.
2.      Kiprah dan Karya-karya Abuya Damanhuri
Setelah menikah dengan Ibu Hj. Fidhoh Abuya Daman membantu mertuanya, KH. Zuhri untuk sama-sama mengajar di pondok pesantrennya. Dahulu, pondok pesantren ini tidak memiliki nama. Namun, seiring waktu berjalan, pondok pesantren tersebut dinamai Pondok Pesantren Nurul Huda. Konon katanya pesantren ini memiliki santri dengan jumlah yang cukup banyak, hampir mencapai ratusan. Selain itu areal pesantrennya juga cukup luas. Saat ini pengajaran di Pondok Pesantren Nurul Huda masih berjalan dengan baik di bawah asuhan KH. Memed yang merupakan saudara ipar sekaligus besan Abuya Damanhuri.
Selain turut membantu pengajaran di pondok pesantren yang sudah didirikan oleh mertuanya, Abuya Daman juga mendirikan percetakan untuk mencetak kitab-kitab yang menjadi bahan pengajaran di pesantren. Percetakan tersebut bernama Al-Falah. Orang-orang di sana sering menyebutnya dengan Stensil Al-Falah. Namun, sangat disayangkan percetakan tersebut keberadaannya tidak bisa dipertahankan sampai saat ini.
Melihat perkembangan pondok pesantren yang cukup pesat, perjuangan Abuya Daman dalam mengembangkan ajaran Islam di Cikaduen tidak berhenti sampai di situ, sekitar tahun 1960-an ia mendirikan sebuah madrasah yang sekarang disebut dengan Madrasah Diniyah Awaliyyah Nurul Huda. Madarasah ini didirikan untuk sarana pendidikan bagi anak-anak di Cikadueun. Madrasah ini terdiri dari empat kelas. Materi yang diajarkannyapun cukup beragam. di antaranya ilmu bahasa, tauhid, aqidah, fiqih, nahwu sorof, dan lain sebagainya. Murid-murid di madrasah ini terbilang cukup banyak, apalagi yang mengajarnya pada saat itu adalah Abuya Daman langsung dibantu oleh menantu, besan, saudara-saudara ipar, dan anak-anaknya. Sampai saat ini kegiatan belajar mengajar di MDA Nurul Huda ini masih berjalan dengan baik dan dengan jumlah murid yang cukup banyak.
Abuya Daman adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu agama. Seperti fiqih, nahwu sorof, ilmu tafsir dan lain sebagainya. Namun, abuya sendiri lebih dikenal dari keahliannya dalam bidang ilmu tafsir. Maka dari itu tidak heran jika pada tahun 1960 ia membuka pengajian pasaran bagi para santri dari dalam maupun dari luar. Diantaranya adalah pengajian Kitab Tafsir Jalalain yang diadakan setiap bulan Romadhon dan Kitab Tafsir Munir setiap bulan Robi’ul Awal. Namun, yang masih berjalan sampai saat ini adalah pengajian pasaran Kitab Tafsir Jalalain yang diadakan setiap bulan Sya’ban. Pada awalnya pengajian ini diikuti oleh para santri dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, seiring berjalannya waktu dan seiring dengan perubahan zaman, santri yang mengikuti pengajian ini tidak sebanyak dulu.
Mengingat pesan Imam Syafi’i bahwa, Menuntut ilmu itu ibarat berburu. Hewan buruan akan lepas jika tidak diikat, begitupun dengan ilmu akan hilang dan terlupakan jika tidak ditulis. Ilmu-ilmu Abuya Daman sampai saat ini tidak terlupakan karena selain aktif dalam bidang pengajaran ilmu agama, ia juga merupakan ulama yang cukup produktif. Di sela-sela waktu senggangnya ia menyempatkan diri untuk menulis atau menuqil. Cukup banyak karya yang ia hasilkan dengan mengutip dari berbagai kitab, di antaranya adalah;
1.      Kitab Majmu’atul ‘Ad’iyyah, ­sebuah kitab yang berisi kumpulan do’a-do’a yang ia tuqil langsung dari beberapa kitab. Pada tahun 2000, seseorang dari Lengkong Ulama bernama Baiquni Yasin meminta izin untuk mencetaknya. Namun sayang, kitab ini tidak edarkan secara luas. Hanya orang-orang tertentu yang memilikinya.
2.      Kitabul aurad
3.      Hizib dan wiridan-wiridan.
4.      Dan lain sebagainya
Abuya Daman adalah sosok ulama yang cukup masyhur di Indonesia, selain karena ia dikenal baik oleh para mukimin asal Indonesia yang belajar padanya juga karena ia adalah murid yang sangat mahabbah terhadap guru-gurunya dan selalu menyambung tali silaturahmi. Ia selalu punya cara bagaimana bisa dekat dan dikenal oleh guru-gurunya.
Pada tahun 1975, ketika usianya menginjak 56 tahun, Abuya Daman pergi kembali ke Mekkah. Lalu pengajaran di pesantren dan di Madrasah diserahkan pada besannya (KH. Memed), menantu-menantunya (KH. Juned dan KH. Uding), dan pada saudara iparnya (KH. Seafulloh). Ketika pergi ke Mekkah, anak-anak Abuya Daman sudah berusia dewasa. Bahkan semuanya sudah berumah tangga.
3.      Kehidupan KH. Damanhuri di Mekkah
Kepergian Abuya Daman ke Mekkah untuk yang kedua kalinya ini tidak dengan tanpa tujuan. Selian untuk menunaikan ibadah haji, abuya juga bermukim di sana selama 30 tahun selain untuk belajar dan mengajar juga membuka usaha penjualan cinderamata bagi WNI yang menunaikan ibadah haji. Di Mekkah abuya tinggal di Jabal Gubes lalu pindah ke Samiyah, dan terakhir ke Jumaidah.
Selama bermukim di Mekkah, Abuya Daman banyak belajar pada guru-guru di sana baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Mekkah. Diantara guru-gurunya yang diketahui berasal dari Indonesia adalah Abuya Jassir yang juga merupkan ayahnya, Syech Yasin Padang, dan Syech Zain Bawayan. Kemudian guru-gurunya yang berasal dari Mekkah yang diketahui di antaranya adalah; Syech Sayyid Alawi, Syech Sayyid Muhammad, Syech Muhammad, Syech Ismail Al Yamani, Syech Ahmad Jabir, Syech Habib Al Kaff—pengajiannya masih berjalan sampai sekarang. Setiap hari kamis Abuya Daman bersama cucunya pergi mengaji ke rumah Syech Zain Bawayan yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi. Syech Zain bawayan ini merupakan guru Abuya Daman yang paling disegani, yang dikenal memiliki suara yang sangat indah. 
Pola belajar yang abuya ikuti adalah bukan belajar atau mengaji secara khusus pada satu per satu guru tapi pengajian umum yang diadakan oleh para syech di sana dengan hari yang berbeda-beda. Setiap ada pengajian ia selalu menyempatkan diri untuk hadir dengan mengajak cucu-cucunya. Ilmu yang diperolehnya dari setiap pengajian selalu ia sampaikan kembali pada jama’ah pengajiannya. Karena di samping belajar, di sana ia juga mengajar. Sama halnya dengan guru-gurunya ia juga mengajar di pengajian umum yang ia adakan setiap hari Jum’at. Setiap hendak membuka pengajian abuya selalu menyuruh cucu-cucunya untuk membacakan Al-Quran dan sholawat terlebih dahulu. Pengajian umum Abuya Daman ini banyak dihadiri oleh para mukimin asal Indonesia. Bahkan beberapa ulama besar Indonesia, khususnya Banten banyak yang belajar padanya. Salah satunya adalah Abuya Otong Nawawi, Ciandur.
Adapun pengajaran secara khusus abuya berikan pada cucu-cucunya dengan waktu yang ia kehendaki sendiri. Dalam mengajar abuya bisa menggunakan tiga bahasa sekaligus, bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab. Selain itu, diketahui pula bahwa Abuya Damanhuri pernah mengajar di salah satu sekolah bernama Darul ‘Ulum di Quday.
Abuya Damanhuri adalah tipe orang tua yang sangat tegas dalam mendidik anak. Abuya juga lebih mengutamakan pendidikan agama pada anak-cucunya. Ketika ada sesuatu yang salah pada anak-anak atau cucu-cucunya, ia selalu menasihati dengan cara yang halus, sehingga yang dinasihati akan merasa segan. Ketika memberikan teguran abuya selalu menggunakan matsal atau perumpamaan, misalnya ketika sedang mengaji cucunya mengantuk sampai tertidur, ketika cucu-cucunya pintar atau bodoh atau sering berbohong dan tidak menulis atau mendengarkan ketika mengaji, maka abuya akan menegurnya dengan perumpamaan yang diucapkan dalam bahasa Arab. Misalnya ketika cucu-cucunya suka berbohong abuya akan berkata “Idza ‘urifal insanu bil kibti lam yazal ladzannaas kaddzaban walau kana thoriqon”.
Selain itu, abuya selalu berpesan pada cucu-cucunya untuk selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan jangan meninggalkan Al-Quran. Karena menurut abuya tidak banyak yang bisa dilakukan oleh cucu-cucunya, selain menghafal Al-Quran. Saat ini pesan abuya terbukti dengan keberhasilan cucu-cucunya kini banyak yang menjadi para penghafal Al-Quran. Selama di Mekkah maupun di Tanah Air banyak orang yang datang untuk meminta nasihat padanya, nasihat yang selalu diberikan adalah perintah untuk memperbanyak membaca sholawat “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammaddin, ‘adada ma fi ’ilmillahi solatan daimatan bidawami mulkillah”.
Di pagi hari, jika tidak ada jadwal pengajian, Abuya Daman selalu meminta cucu-cucunya untuk mengantarnya ke Masjidil Harom untuk shalat dhuha dan I’tikaf. Ia pergi ke Masjidil Harom dengan menggunakan kursi roda, mengingat usianya yang sudah senja. Setelah selesai cucu-cucunya akan kembali ke Masjidil Harom untuk menjemputnya. Hal itu terus dilakukan secara teratur, dengan waktu antar dan jemput yang sudah disepakati. Selama di Mekkah, untuk menu sarapan makanan kesukaan abuya adalah roti dan zaitun.
Abuya Damanhuri meninggal dunia pada bulan Jumadil Awal tahun 1427 H/tahun 2005 di sebuah rumah sakit dan di makamkan di Ma’la dalam usia 85 tahun. Empat puluh hari sebelum Abuya Daman wafat guru beliau Syech Zain Bawayan wafat, setelah itu Abuya Daman merasakan duka yang amat dalam, karena Syech Zain Bawayan merupakan guru yang amat ia segani.

Wawancara;
1.      KH. Uding Bahruddin, Cikadueun-Pandeglang, 04  November 2015
2.      Hj. Sholehah, Cikadueun-Pandeglang, 04 November 2015
3.      H. Makki, Cikadueun-Pandeglang, 06 November 2015
4.      H. Hamud, Cikadueun-Pandeglang, 09 November 2015

*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016

Biografi K.H. Otong Nawawi Ciandur


Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selagi dia tidak menulis dia akan hilang dalam sejarah. Menulis adalah mengabadikan sejarah”. KH. Otong Nawawi atau biasa dipanggil Abuya Otong adalah salah satu ulama yang memiliki kesadaran untuk mengabadikan sejarah lewat tulisan. Riwayat hidupnya ia tulis dalam sebuah buku harian yang sampai saat ini masih tersimpan dengan baik yang kini bisa digunakan sebagai salah satu bukti sejarah. 

Riwayat Keluarga
Abuya Otong Lahir di Manunjang, Saketi, Pandeglang pada hari Jum’at 7 Muharram tahun 1344 H/1925 M. Abuya Otong adalah putra keempat dari empat bersaudara, ia anak lelaki satu-satunya. Saudara-saudaranya bernama (1)  Ibu Enong, (2) Ibu Eneng, dan (3) Ibu Enjen. Ayahnya bernama KH. Aslah yang merupakan salah satu ulama yang patut diperhitungkan, bahkan disebutkan pernah menetap cukup lama di Mekkah untuk mengajar di pengajian. Ibunya bernama Hj. Siti Khodijah bin H. Sanaka, dari Manunjang, Saketi. Dari garis ayah Abuya Otong memiliki hubungan geneologis dengan Syech Daud Cigondang, berikut silsilahnya:
1.      Syech Daud Cigondang
2.      Syech Ajib Sangkan Kananga
3.      Baedhowi
4.      Ali Alan
5.      H. Ashob
6.      H. Wasijan
7.      H. Aslah
8.      KH. Otong Nawawi
Sedangkan dari garis ibu, abuya memiliki hubungan geneologis dengan Syech Masajan Wiralaksana yang merupakan salah satu prajurit Kesultanan Banten yang menetap di Ciandur setelah mengalahkan seorang pandai besi dari Ciandur.
Sejak kecil abuya sudah ditinggalkan oleh orang tuanya, sehingga ia banyak menghabiskan masa kecilnya dengan tinggal bersama saudara perempuannya di Ciandur. Sebelum wafat, ayahnya, H. Aslah menitipkan amanah pada saudaranya KH. Ghofur, amanah itu berupa buku yang berisi suatu amalan. Dalam amanahnya, KH. Aslah mengatakan agar buku tersebut diberikan pada anaknya yaitu KH. Otong Nawawi, jika ia sudah besar dan benar-benar sudah bisa mengaji. Singkat cerita, ketika usia Abuya Otong mencapai belasan tahun KH. Ghofur menyampaikan amanah tersebut padanya. Setelah itu ia pergi belajar di beberapa pondok pesantren.
Sepulang dari pesantren, abuya kembali menemui pamannya untuk mengambil buku yang diamanahkan oleh ayahnya. Setelah dibuka ternyata buku tersebut bertuliskan sebuah amalan yang dikatakan di dalamnya jika ingin hidup bahagia dunia dan akhirat harus mengamalkan sholat hajat empat roka’at dan dalam setiap roka’atnya setelah membaca fatihah harus membaca Surat Al Ikhlas sesuai dengan urutan roka’at masing-masing. Amalan tersebut di kemudian hari terus diwariskan kepada anak-cucunya hingga saat ini.
Diketahui bahwa abuya memiliki istri bernama dengan Ibu Hj. Encuk Hasanah, putri seorang lurah dari Bulakan yang bernama Lurah Hasan.[1]Dari pernikahannya ini abuya dikaruniai sepuluh orang anak, empat orang putra dan enam orang putri, di antaranya adalah sebagai berikut;(1) Hj. Enjah fauziah, (2) Hj. Endoh Roudhoh, (3) H. Ambeng Humaedi, (4) Hj. Tami, (5) Hj. Enok Faozah, (6) Hj. Aang Ahdori, (7) Hj. Euis muslihah, (8) H. Ahmad Ambari, (9) Hj. Ade Buraedah, dan (10) H. Abdul faqih Fuadi. Setelah Ibu Hj. Encuk Hasanah meninggal[2], abuya menikah kembali dengan Umi Eneng dari Sumur, Pandeglang. 

Riwayat pendidikan
Setiap manusia dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan seseorang berkembang karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Abuya Otong merupakan seorang anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata rekan-rekan seperjuangannya. Semasa kecil ia mendapatkan pendidikan formal di SR, karena ia memiliki nilai yang cukup baik, untuk segera tamat dari SR tidak membutuhkan waktu yang lama. lulus dari SR sekitar tahun 1938. Setelah itu dilanjut ke madrasah, keluar pada tahun 1939. Setelah menamatkan sekolah formalnya, pada tahun 1939 Abuya Otong melanjutkan pendidikannya ke sebuah pondok pesantren di Rocek yang dipimpin oleh Syech Hasan Mushthofa selama tiga tahun. Setelah itu pada tahun 1941 beliau melanjutkan mondok di Kadu Cekek, Cipeucang di pondok pesantren Syech Syaubari Assujahi kemudian berguru juga pada puteranya, Syech Junaidi Assujahi. Dari Kadu Cekek ia melanjutkan ke Cikawung, berguru pada Syech Ahmad, dan yang terakhir, sebelum abuya benar-benar menetap di Ciandur adalah belajar di pondok pesantren yang diasuh oleh Syech Abdul Qodir di Gentur, Cianjur selama tiga tahun.
Selain itu, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya Otong juga pernah belajar ke salah satu ulama Banten yang mukim di tanah suci, yaitu Abuya Damanhuri. Abuya Otong mengikuti pengajian yang diadakan oleh Abuya Daman setiap hari Jum’at. 

Kiprah Abuya Otong Nawawi
Pada saat berusia 23 tahun Abuya Otong menikah dengan Ibu Hj. Encuk, lalu menetap di Ciandur dan mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Thoriqotul Huda al Hasanah. Nama yang dicetuskan oleh salah satu santrinya yang memiliki makna jalan untuk mendapatkan petunjuk (kebaikan). Sebagaimana diketahui bahwa, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang berperan penting dalam mencetak generasi-generasi Islami. Sesuai dengan namanya, pondok pesantren yang didirikan oleh Abuya Otong ini mampu mencetak santri-santri yang bisa hidup dengan baik di lingkungan masyarakat, karena pola pendidikan yang dikedepankan oleh Abuya Otong selain ilmu keagamaan juga ilmu dalam bermuamalah.
Secara spesifik, dari segi keilmuan Abuya Otong tidak dikenal dengan keahliannya dalam bidang ilmu tertentu. Seperti beberapa ulama yang dikenal ahli dalam satu bidang ilmu seperti tafsir, fiqih, tarekat dan lain sebagainya. Sehingga pengajaran di pesantrenpun dikonsentrasikan dalam bidang ilmu tersebut. Berbeda dengan Abuya Otong yang lebih banyak mengedepankan praktik bagaimana tata cara hidup di masyarakat untuk para santri, dan bagaimana santri-santrinya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Membiasakan sholat berjama’ah, tidak meninggalkan sarung dan kopeah, bisa mencangkul, bisa ngaduk semen dan tentunya yang paling penting adalah berakhlakul karimah. Tidak akan diistiqomahkan santrinya jika terlihat masih belum punya kemampuan hidup di masyarakat, santri itu menurutnya tidak hanya bisa ngaji kitab, tapi juga harus bisa ngaji diri, agar punya bekal untuk hidup di masyarakat dan bisa berguna untuk masyarakat. Dengan pola pendidikan demikian, banyak santri-santrinya yang kemudian menjadi orang yang berhasil.
Sebagai seorang ayah, dalam mendidik anak-anaknya abuya selalu mengedepankan akhlak. Ketika memberi nasihat tidak hanya lewat ucapan tapi juga langsung ia praktikan dengan perbuatan. Seperti membiasakan sholat berjama’ah, mengaji, selalu berpakaian rapih dan sopan, dan lain sebagainya.
Selain mengajarkan agama pada para santri, abuya juga mengajarkan pada masyarakat sekitar dengan ceramah dari satu tempat ke tempat lain dan mengadakan kegiatan pengajian setiap hari kamis pagi untuk bapak-bapak dan setiap hari jum’at pagi untuk ibu-ibu di Masjid Thoriqotul Huda. Saat ini kegiatan pengajian tersebut masih berjalan dengan baik.
Selain aktif mengajar di pesantren, abuya juga pernah aktif di bidang politik, dengan bergabung dalam beberapa partai politik, di antaranya adalah PPP, GOLKAR dan PKB. Saat bergabung dengan golkar abuya sempat mendapatkan tentangan dari keluarga. Tapi, abuya punya alasan tersendiri kenapa bergabung dengan GOLKAR, diantaranya adalah pada saat itu dunia politik didominasi dan dimonopoli oleh GOLKAR, sehingga abuya berpikiran jika demikian bagaimana para ulama di PPP bisa berdakwah kalau semua aspek didominasi oleh GOLKAR, maka dari itu abuya bergabung dengan partai berlambang pohon beringin itu, selain itu alasan lain abuya bergabung dengan GOLKAR karena berdasarkan jawaban dari hasil shalat istikharahnya.
Abuya otong juga merupakan seorang ulama yang cukup produktif dengan banyak mengutip catatan-catatan penting dari kitab-kitab yang kemudian beliau tulis dalam sebuah buku untuk selanjutnya beliau ajarkan kembali pada para santrinya. Secara umum karya-karyanya yang dikenal orang memang tidak ada. Tapi, secara khusus abuya menulis sebuah buku yang berisi khutbah jum’at. khutbah jum’at tersebut dari dulu sampai sekarang masih selalu digunakan ketika khutbah jum’at di Masjid Thoriqotul Huda. Selain itu, abuya juga pernah menulis satu buku yang berjudul Targhibul Ikhwan, buku ini merupakan nadzom sunda yang berisi tentang rukun Islam, rukun iman, dan aqidah, biasanya nadzom ini sering dilantunkan di masjid ketika menjelang adzan maghrib. 

Hagiografi
Abuya Otong sudah diakui oleh beberapa ulama bahwa ia merupakan seseorang yang dimuliakan oleh Allah. do’a-do’anya mudah dikabulkan. Suatu ketika ada santri yang diperintahkan oleh abuya untuk pulang dan mendirikan pesantren di kampung halamannya padahal santri tersebut belum bisa ngaji. Tapi karena do’a dan ridho dari guru, santri tersebut memiliki santri yang banyak dan kehidupan yang baik. Kemudian, pernah suatu hari ketika hendak membangun pesantren, abuya banyak meminta pada Allah agar diberikan banyak rizqi. Keesokan harinya ada seorang lelaki berjubah putih datang pada Abuya Otong membawakan banyak uang.
Di samping mendirikan pesantren abuya juga membuka sebuah warung di depan rumahnya. Suatu hari ada seorang perempuan hendak membeli kecap sachet, tapi yang ada hanya kecap dalam botol. Entah mungkin perempuan tersebut merasa tidak dilayani dengan baik, maka dia mengadu pada suaminya yang merupakan seorang tentara. Singkat cerita datanglah tentara itu ke rumah abuya dan hendak menembak abuya dengan senapannya. Tapi ketika hendak menembak, pelurunya tidak keluar.
Abuya Otong wafat pada malam Selasa, 14 Romadhon 1423 H bertepatan dengan 19 November 2002 dalam usia 90 tahun. Abuya meninggal di Ciandur dan dimakamkan di Kp. Pasir Manggu, di kebun milik pribadi. Suatu ketika, sebelum wafat Abuya pergi kebun tersebut bersama istrinya, Ibu Hj. Encuk. Ia berpesan agar ketika wafat nanti dimakamkan di tempat tersebut. Setelah wafat dimakamkan disana berdampingan dengan makam istrinya yang telah lebih dulu wafat. Kepergian Abuya Otong meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga juga bagi masyarakat.

Sumber
Wawancara bersama Bapak H. A. A . Ciandur, Minggu, 08 November 2015
Wawancara bersama H. A. B, Ciandur, Minggu, 15 November 2015


[1] Karena kecintaannya pada ulama dan santri, seorang lurah dari Bulakan ingin sekali memiliki menantu seorang santri yang bisa mengaji yang diharapkan bisa membimbing putrinya. Maka dinikahkanlah Abuya Otong dengan putrinya Hj. Encuk Hasanah, dan apapun yang diinginkan oleh abuya akan dipenuhi oleh mertuanya. Pada saat menikah, abuya diberikan lampu pertomak dan sebuah sepeda oleh mertuanya, dua benda tersebut pada masa itu memiliki nilai yang cukup tinggi.
[2] Ibu Hj. Encuk Hasanah meninggal ketika Abuya Otong sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci. 


*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016