Riwayat Abuya Abdul
Karim
KH. TB.
Abdul Karim adalah salah satu ulama Banten yang cukup terkenal di Kabupaten
Pandeglang. Selain dikenal sebagai ulama yang aktif di bidang kajian dan
pengembangan keislaman beliau juga dikenal sebagai tokoh yang cukup berpengaruh
dalam bidang politik. KH. TB. Abdul Karim atau yang akrab disapa Abuya atau Mama, lahir pada tahun 1914 di Kampung Rocek (sekarang Desa Bojong
Huni), Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Ayahnya bernama KH. TB. Ismail yang berasal dari Kampung Leuwi Kondang, Desa
Kadubumbang, Cimanuk, dan ibunya bernama Siti Sarah yang berasal
dari Pasir Angin, Pandeglang.
Menurut
beberapa informasi, dari garis ayah silsilah Abuya Abdul Karim sampai kepada
Syech Syarif Hidayatullah, maka otomatis sampai pula kepada Rasulullah Saw.
Sedangkan dari pihak ibu silsilahnya sampai kepada Sayyidina Hamzah, sahabat
Nabi.
Abuya
Abdul Karim terlahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya juga merupakan
seorang ulama. Selama hidupnya Abuya Abdul Karim pernah menjalani pernikahan
sebanyak tiga kali. pernikahan pertamanya dengan seorang perempuan bernama Siti
pada tahun 1933, pernikahan yang pertama ini hanya bertahan selama satu tahun
karena Abuya Abdul Karim masih memiliki keinginan besar untuk belajar ilmu
agama. Pernikahan dengan istri yang pertama tidak dikarunia putra.
Kemudian
pada tahun 1943, setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Abuya
Abdul Karim menikahi seorang perempuan yang berasal dari Kp. Bengkung bernama
Siti Tarwiyah atau yang dikenal dengan Ibu Iyot. Dalam pernikahannya yang kedua
ini dikaruniai dua orang anak, Ratu Nawiroh dan Tb. Acep Saefulloh. sampai
kemudian istri yang kedua ini meninggal dunia.
Setelah
itu pada tahun 1949 Abuya Abdul Karim menikahi seorang gadis yang berasal dari
Kp. Pabrik bernama Ratu Julaeha binti Tb. Halimi. Pada saat itu Ibu Ratu
Julaeha masih berusia 14 tahun. Dari pernikahannya dengan istri ketiga ini
dikaruniai tujuh orang anak;
1.
Ratu
Azzah
2.
Ratu
Empin Arfiyah (alm)
3.
Ratu
Ifah Afifah
4.
Tubagus
Badren
5.
Tubagus
AE. Neirendan
6.
Ratu
Tuti Alawiyah
7.
Ratu
ida (alm)
Kedua
putranyalah yang saat ini meneruskan jejak langkah Abuya Abdul Karim dalam
bidang pendidikan Islam yakni Tubagus Badren dan Tubagus AE. Neirendan.
Riwayat Pendidikan
Masa
pendidikan Abuya Abdul Karim sebagian besar dilakukan di pondok pesantren. Saat
usianya menginjak tujuh tahun beliau mondok di salah satu pondok pesantren di
Rocek selama tiga tahun yakni dari tahun 1921 sampai tahun 1924. Kemudian
dilanjut ke pondok pesantren di Plered selama lima tahun yakni dari tahun 1924
sampai tahun 1929. Kemudian di pondok pesantren di Ciluwer, Bogor selama empat
tahun (1930-1934), pada saat mondok di Bogor di tahun yang ketiga beliau
menikah. Namun, pernikahannya hanya bertahan selama satu tahan saja karena
beliau masih ingin melanjutkan belajar di pondok pesantren. Setelah itu Abuya
Abdul Karim melanjutkan ke Gentur,
Jambudipa di pondok pesantren KH. Ahmad Satibi selama delapan tahun
(1934-1942), dan yang terakhir beliau mondok di Pondok pesantren Abuya Abdul Halim di Kadu Peusing pada tahun
1942-1943.
Keilmuan Abuya Abdul Karim sudah
diakui oleh masyarakat di sekitarnya. Abuya Abdul Karim ahli dalam berbagai
bidang ilmu agama. Baik fiqih, hadis, tauhid, balagoh, mantiq dan lain
sebagainya. Tapi abuya lebih dikenal dengan keahliannya dalam bidang ilmu tafsir.
Selain itu, menurut salah satu santrinya Abuya Abdul Karim juga menguasai ilmu falaq. Perhitungannya dalam menentukan idul fitri atau idul adha
didasarkan pada dua hal yaitu rukyah dan istikmal. Menurutnya jika terlihat
bulan maka itu rukyah berarti tepatlah hari raya itu, sedangkan jika tidak
terlihat bulan maka itu istikmal.
Abuya
Abdul Karim dikabarkan bersahabat dekat dengan Buya HAMKA. Dahulu kedua karib
ini satu sama lain saling mengunjungi untuk saling berbagi ilmu dan berbagi
nasihat. Abuya Abdul Karim juga menjadi tempat bagi
masyarakat untuk meminta nasihat.
Aktivitas-aktivitas
Abuya Abdul Karim
Selama hidupnya Abuya Abdul Karim
banyak mengabdikan diri untuk umat. Di antaranya adalah mendidik para santri di
pesantren dan menjadi pengajar di beberapa majlis ta’lim di Pandeglang. Metode
pengajaran yang abuya gunakan adalah metode ceramah sambil membacakan kitab.
Berikut
ini beberapa aktivitas Abuya Abdul Karim dalam pendidikan Islam di Pandeglang:
1.
Mendirikan
pondok pesantren pertama di Bengkung pada tahun 1948 pada saat menikah dengan
istri kedua. Saat ini pondok pesantren tersebut pengajarannya dilanjutkan oleh
keturunannya dari istri kedua.
2.
Menjadi
pengurus di Mathla’ul Anwar Menes pada tahun 1957-1960, lebih tepatnya sebagai
penasihat dalam majlis fatwa.
3.
Mengajar
pada pengajian majlis ta’lim di Cihideung pada tahun 1961-1963
4.
Mendirikan
lembaga pendidikan Madrasah Mathla’ul Huda di Kp. Pabrik sekaligus menjadi
pengajarnya pada tahun 1962.
5.
Mengajar
pada pengajian majlis ta’lim khusus para kyai setiap hari kamis pagi dan
pengajian untuk umum setiap hari sabtu—yang sampai sekarang masih berlanjut,
pada tahun 1962.
6.
Mengajar
pada pengajian majlis ta’lim di Kadukacang, Kananga, dan Labuan pada tahun
1970-1980.
7.
Mengajar
pada pengajian majlis ta’lim di Kadulisung dan di Cidangiang pada tahun
1980-1987.
8.
Mengajar
pada pengajian majlis ta’lim di Nyimas Ropoh pada tahun 1989-1996.
Selain
aktif dalam bidang kajian dan pengembangan Islam, abuya juga aktif dalam melakukan
perlawanan terhadap para penjajah ketika Agresi Militer Belanda yang kedua
bersama rekan-rekannya, salah satunya bersama Ghozali. Pada saat itu, abuya
berperan sebagai ketua dalam MII (Majelis Ishlah Indonesia) yang merupakan
salah satu organisasi yang mendukung tentara sabilillah dalam rangka perlawanan
melawan agresi militer Belanda sekitar tahun 1949 bersama KH. Abdul Halim.
Banten
merupakan salah satu daerah yang penduduknya hampir seluruhnya beragama Islam.
Sehingga pengaruh kyai dan ulama sangat besar sekali. Revolusi di Banten
sebagian besar dipimpin oleh para kyai dan ulama. Sehingga jabatan dalam
pemerintahan dari tingkat lurah sampai tingkat bupati dipangku oleh para kyai
dan ulama. Abuya Abdul Karim dalam rangka mendukung pemerintahan pasca
kemerdekaan diangkat menjadi lurah Desa Kupahandap-Pandeglang oleh Residen
Banten KH. Ahmad Khotib sekitar tahun 1946-1949.
Aktivitas
Abuya Abdul Karim sangat aktif mendukung Masyumi, di mana ia menjabat sebagai
penasehat yang menghantarkan ia menjadi anggota konstituante sekitar tahun
1964. Bersama rekan-rekannya di Pandeglang yang tergabung di Masyumi dan yang
bukan Masyumi mereka menentang NASAKOM sampai terjadinya peristiwa G30SPKI.
Kemudian pada masa Orde Baru setelah Mayumi bubar Abuya Abdul Karim bergabung
dengan PARMUSI sebagai penasehat hingga pusinya partai-partai Islam di
Indonesia.
Keistimewaan Abuya
Abdul Karim
Abuya
Abdul Karim adalah sosok ulama yang sederhana, tawadhu, qonaah, dan moderat,
tidak memihak pada golongan atau komunitas tertentu sekalipun berbeda pandangan
satu sama lain. Ia juga dikenal sebagai ulama yang selalu mengedepankan
akhlakul karimah dan sangat bijak menghadapi semua problematika yang ada di
masayarakat. Terutama terkait dengan perbedaan-perbedaan paham yang berkembang
di baik di tengah masyrakat maupun di
tengah kalangan ulama sejawat. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ia
disebut sebagai ulama moderat pemersatu
umat.
Pada
tahu 1992 abuya pergi menunaikan ibadah
haji ke tanah suci bersama istrinya. Ada satu cerita ketika hendak berangkat
wukuf di Arafah, semua rombongan termasuk ketua rombongan sibuk mencari abuya
yang tiba-tiba menghilang. mencari di maktab abuya tidak ditemukan. Sampai
akhirnya abuya ditemukan sedang duduk di Arafah, kondisi saat itu abuya sudah
menggunakan kursi roda. Ketika ditanyakan abuya mengatakan bahwa dia tidak tahu
kenapa tiba-tiba bisa langsung ada di Arafah, sebelumnya ia melihat ada sosok
hitam tinggi yang mengangkatnya dan mengantarkannya ke Arafah. Subhanallah.
Pernah
pula suatu ketika beberapa tahun setelah abuya wafat ada salah seorang yang
datang ke rumah abuya dan mengaku sebagai santrinya, santri tersebut bercerita bahwa ketika ia
menunaikan ibadah haji ia bertemu dengan abuya yang kemudia menyuruhnya untuk
bersilaturahim ke rumahnya di Pandeglang seraya memberikan alamat lengkapnya.
Padahal pada waktu itu abuya sudah wafat. Mungkin abuya mengingatkan pada
santri tersebut untuk tidak memutus silaturahim.
Abuya
Abdul Karim wafat pada hari Jum’at tanggal 29 Ramadhan 1417 H bertepatan dengan
tanggal 7 Februari 1997 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di depan rumahnya
yang kini di areal tersebut dibangun sebuah mushola. Sampai saat ini makam
abuya banyak diziarahi oleh orang-orang.
Kepergian
abuya meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga juga bagi umat yang merasa
bahwa abuya adalah sosok ulama yang memiliki kepribadian yang luar biasa.
Banyak nasihat abuya yang sampai saat ini masih teringat, di antaranya adalah;
Bergaulah dengan siapapun, ambil manfaat dan yang baik-baiknya saja. Carilah
ilmu dimanapun pada siapapun. Kalau berbicara harus memperhatikan perasaan
orang lain. Dan Ilmu tidak akan manfaat jika tidak disertai dengan akhlak dan
sopan santun.
Sumber
1. Biografi KH. TB. Abdul Karim
dalam rangka peringatan haul yang kelima
2.
Wawancara
dengan Hj. Ratu Julaeha, Dalem Balar-Pandeglang, 16 Oktober 2015
3.
Wawancara
dengan KH. Uyung, Kadu Kaweng-Pandeglang, 17 Oktober
4. Wawancara dengan Ust, Badren,
Dalem Balar-Pandeglang, 17 Oktober 2015
Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama tahun dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016
Alhamdulillah ka panggih...
BalasHapus