Rabu, 24 Oktober 2018

Biografi Abuya Aliyuddin Cikadueun


Riwayat Keluarga
Desa Cikadueun disebut sebagai desa yang agamis. Hal ini didasarkan pada banyaknya para ulama dan para santri di desa ini. Salah satu ulama yang berperan penting dalam perkembangan dan kemajuan Islam di Desa Cikadueun adalah Abuya Aliyuddin. Ulama yang tidak hanya berjuang dalam mengembangkan keislaman  tapi juga turut membantu perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Abuya Aliyuddin lahir pada tahun 1891 di Kp. Jaha, Cikadueun. Tanggal kelahirannya tidak diketahui dengan pasti. Abuya merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya bernama KH. Aslah dan ibunya bernama Arnawati. Saudaranya bernama Unib. Masa kecil abuya banyak dihabiskan di Kp. Jaha. Abuya Ali menikah ketika usianya sekitar 20 tahunan, ia menikah dengan Ibu Maemunah dari Desa Koncang. Dari pernikahannya ini abuya dikaruniai   orang anak. Tiga di antaranya meninggal ketika masih kecil. Yang tersisa enam orang anak yang kemudian meneruskan jejak abuya dalam mengembangkan ajaran Islam. Di antaranya adalah; KH. Misbah, KH. Udi, KH. Ambi, KH. Aton, dan Hj. Iyah.
Setelah menikah abuya sempat berpindah-pindah tempat tinggal, sampai akhirnya menetap di tempat yang saat ini ditempati oleh keturunannya, sekitar tahun 1925, ketika abuya berusia 33 tahun, abuya mulai menetap di Desa Cikadueun, tepatnya di sebelah timur tempat pemakaman Syech Maulana Manshuruddin Cikadueun. Pada masa inilah abuya mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren al Manshuriyah.
Riwayat Pendidikan
Semasa kecil abuya sudah ditempa dengan pendidikan agama langsung dari ayahnya, kemudian ia melanjutkan belajarnya pada KH. Isa, salah satu ulama besar di Kp. Jaha, Cikadueun. Setelah menginjak  usia remaja abuya melanjutkan pendidikan agamanya ke salah satu pondok pesantren di Bojong Menteng. Dan yang terakhir abuya belajar pada Abuya Abdul Halim, Kadu Peusing selama tujuh tahun. Diketahui bahwa abuya juga pernah berguru pada Abuya Jassir ketika ia pergi ke tanah suci pada tahun 1930 dan mukim di sana selama satu tahun. Kemudian pada tahun 1975 ia pergi kembali ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Kiprah dan Kontribusi Abuya Aliyuddin
Abuya Aliyuddin adalah sosok ulama yang zuhud dan sederhana. Ia juga dikenal dengan ketegasannya dalam mendidik para santri. Sehingga tidak heran banyak santri-santrinya yang kemudian menjadi orang-orang yang berhasil. Ia adalah ulama yang mencetak generasi-generasi penerus Islam di masa kini. Selama 53 tahun, dengan penuh kesabaran, keuletan dan semangat yang tinggi beliau telah berhasil menjadikan pesantren banyak didatangi oleh para santri dari berbagai daerah baik dari di Banten maupun luar Banten, terutama santri yang paling banyak berguru datang dari daerah selatan Banten seperti Cibaliung, Munjul, Saketi dan lain sebagainya. Konon katanya santrinya mencapai ratusan orang.
Pola pengajaran yang diterapkan pada santri-santri di pesantrennya adalah pola pengajaran seperti di pesantren pada umumnya, yaitu sorogan dan bandungan. Semua kajian kelimuan diajarkan pada para santri, baik itu tafsir, fiqih, tasawuf, nahwu dan sorof, dan lain sebagainya. Namun yang lebih ditekankan adalah ilmu fiqih.
Diceritakan bahwa abuya adalah guru yang perhatian pada santri-santrinya. Pernah suatu ketika ada seorang santri yang menghadap abuya untuk meminta izin pulang ke rumah karena kehabisan beras. Kemudian abuya memanggil seseorang untuk membawakan sekarung beras lalu diberikan pada santri tersebut.
Perjuangannya dalam mengembangkan ajaran Islam di Desa Cikadueun penuh dengan tantangan. Baik yang datang dari masyarakat maupun yang datang dari luar masyarakat, yaitu para penjajah Belanda. Abuya hidup di zaman kolonialisme Belanda, juga merasakan bagaimana rasanya melakukan dan mendapatkan perlawanan dari para tentara Belanda. Selain aktif di bidang kajian keislaman abuya juga aktif melakukan gerilya bersama rekan-rekannya. Pernah suatu ketika abuya diseret oleh tentara Belanda dari Desa Cikadueun sampai Cimanuk. Bahkan pesantrenpun pernah jadi sasaran para tentara Belanda yang mengira pesantren tersebut adalah markas para gerilyawan. Sehingga mengakibatkan suasana yang tidak aman di Desa Cikadueun.
Selain terlibat langsung dalam perlawanan abuya juga menjadi tempat bagi masyarakat dan para gerilyawan untuk meminta nasihat dan meminta pengobatan. Pada masa itu, pengobatan medis tidak bisa diperoleh dengan mudah. Sehingga untuk mengobati luka dan sakit mereka datang pada abuya untuk dido’akan. selain itu, dalam bidang politik abuya memang tidak terlibat, tapi ia sangat mendukung eksistensi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
Dalam mendidik anak-anaknya abuya sangat tegas. Anak-anaknya diajarkan untuk hidup sederhana dan giat mengaji. Bahkan abuya selalu berpesan bahwa jika ingin bahagia dunia akhirat fokuslah mengaji. Abuya Aliyuddin wafat setelah selesai berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat maghrib, tepatnya pada hari selasa tanggal 10 Muharram 1398 atau tahun 1978. Setelah abuya wafat Pondok Pesantren Al Manshuriyah berganti nama menjadi Pondok Pesantren Bani Ali. Saat ini kegiatan pengajaran masih berlangsung dengan baik di bawah asuhan anak dan cucu Abuya Aliyuddin.

            Sumber
           Wawancara dengan KH. Udi, Saketi, 09 November 2015.
Wawancara dengan KH. Juned, Cikadueun, 10 November 2015.

*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam 
Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar