Rabu, 24 Oktober 2018

Biografi Abuya Damanhuri Cikadueun


1.      Riwayat Keluarga
KH. Damanhuri atau Abuya Daman lahir di Cidahu pada tahun 1920. Ia merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari seorang ayah yang bernama Arman bin Armani dan seorang ibu bernama Nyai Sanami. Kakak perempuannya bernama Hj. Siti Badriyah. Selain itu, Abuya Daman juga mempunyai saudara lain dari pernikahan ibunya, Nyai Sanami dengan Abuya Jassir yang tinggal di Arab Saudi. Di antaranya adalah Hj. Asmah (menikah dengan Abuya Dimyati Cidahu), Hj. Khodijah, dan H. Muhammad Arif.
Abuya Daman menghabiskan masa kecilnya di Arab Saudi, menginjak masa remaja ia kembali ke Tanah Air  dan menghabiskan masa remajanya sambil belajar di pondok pesantren Abuya Abdul Halim di Kadu Peusing. Setelah keluar dari pesantren tersebut ia menikah dengan Ibu Hj. Fidhoh, putri ke-4 dari seorang kyai besar di Cikadueun, KH. Zuhri. Dari pernikahannya dengan Ibu Hj. Fidhoh dikaruniai enam orang anak, di antaranya:
1.      Fauziyah
2.      Hj. Afifah
3.      Hj. Muti’ah
4.      Hj. Enok Mariyam
5.      Hj. Solehah
6.      Muhammad
Ketika anak-anaknya masih sangat kecil, Ibu Hj. Fidhoh meninggal dunia, tak lama setelah itu Abuya Daman menikah kembali dengan Ibu Faizah yang berasal dari Cihideung. Dari pernikahan yang kedua ini abuya tidak memiliki keturunan.
Abuya Damanhuri adalah sosok ulama yang dikenal dengan sifat tawadhunya, hidupnya banyak dihabiskan untuk belajar dan mengajar, sebisa mungkin ia menjauhi urusan dunia. Sebagai seorang ulama ia juga dikenal baik pada tetangganya, terlebih pada keluarga dan kerabatnya. Dalam mendidik anak-anaknya abuya lebih menekankan pada pengajaran ilmu keagamaan.
2.      Kiprah dan Karya-karya Abuya Damanhuri
Setelah menikah dengan Ibu Hj. Fidhoh Abuya Daman membantu mertuanya, KH. Zuhri untuk sama-sama mengajar di pondok pesantrennya. Dahulu, pondok pesantren ini tidak memiliki nama. Namun, seiring waktu berjalan, pondok pesantren tersebut dinamai Pondok Pesantren Nurul Huda. Konon katanya pesantren ini memiliki santri dengan jumlah yang cukup banyak, hampir mencapai ratusan. Selain itu areal pesantrennya juga cukup luas. Saat ini pengajaran di Pondok Pesantren Nurul Huda masih berjalan dengan baik di bawah asuhan KH. Memed yang merupakan saudara ipar sekaligus besan Abuya Damanhuri.
Selain turut membantu pengajaran di pondok pesantren yang sudah didirikan oleh mertuanya, Abuya Daman juga mendirikan percetakan untuk mencetak kitab-kitab yang menjadi bahan pengajaran di pesantren. Percetakan tersebut bernama Al-Falah. Orang-orang di sana sering menyebutnya dengan Stensil Al-Falah. Namun, sangat disayangkan percetakan tersebut keberadaannya tidak bisa dipertahankan sampai saat ini.
Melihat perkembangan pondok pesantren yang cukup pesat, perjuangan Abuya Daman dalam mengembangkan ajaran Islam di Cikaduen tidak berhenti sampai di situ, sekitar tahun 1960-an ia mendirikan sebuah madrasah yang sekarang disebut dengan Madrasah Diniyah Awaliyyah Nurul Huda. Madarasah ini didirikan untuk sarana pendidikan bagi anak-anak di Cikadueun. Madrasah ini terdiri dari empat kelas. Materi yang diajarkannyapun cukup beragam. di antaranya ilmu bahasa, tauhid, aqidah, fiqih, nahwu sorof, dan lain sebagainya. Murid-murid di madrasah ini terbilang cukup banyak, apalagi yang mengajarnya pada saat itu adalah Abuya Daman langsung dibantu oleh menantu, besan, saudara-saudara ipar, dan anak-anaknya. Sampai saat ini kegiatan belajar mengajar di MDA Nurul Huda ini masih berjalan dengan baik dan dengan jumlah murid yang cukup banyak.
Abuya Daman adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu agama. Seperti fiqih, nahwu sorof, ilmu tafsir dan lain sebagainya. Namun, abuya sendiri lebih dikenal dari keahliannya dalam bidang ilmu tafsir. Maka dari itu tidak heran jika pada tahun 1960 ia membuka pengajian pasaran bagi para santri dari dalam maupun dari luar. Diantaranya adalah pengajian Kitab Tafsir Jalalain yang diadakan setiap bulan Romadhon dan Kitab Tafsir Munir setiap bulan Robi’ul Awal. Namun, yang masih berjalan sampai saat ini adalah pengajian pasaran Kitab Tafsir Jalalain yang diadakan setiap bulan Sya’ban. Pada awalnya pengajian ini diikuti oleh para santri dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, seiring berjalannya waktu dan seiring dengan perubahan zaman, santri yang mengikuti pengajian ini tidak sebanyak dulu.
Mengingat pesan Imam Syafi’i bahwa, Menuntut ilmu itu ibarat berburu. Hewan buruan akan lepas jika tidak diikat, begitupun dengan ilmu akan hilang dan terlupakan jika tidak ditulis. Ilmu-ilmu Abuya Daman sampai saat ini tidak terlupakan karena selain aktif dalam bidang pengajaran ilmu agama, ia juga merupakan ulama yang cukup produktif. Di sela-sela waktu senggangnya ia menyempatkan diri untuk menulis atau menuqil. Cukup banyak karya yang ia hasilkan dengan mengutip dari berbagai kitab, di antaranya adalah;
1.      Kitab Majmu’atul ‘Ad’iyyah, ­sebuah kitab yang berisi kumpulan do’a-do’a yang ia tuqil langsung dari beberapa kitab. Pada tahun 2000, seseorang dari Lengkong Ulama bernama Baiquni Yasin meminta izin untuk mencetaknya. Namun sayang, kitab ini tidak edarkan secara luas. Hanya orang-orang tertentu yang memilikinya.
2.      Kitabul aurad
3.      Hizib dan wiridan-wiridan.
4.      Dan lain sebagainya
Abuya Daman adalah sosok ulama yang cukup masyhur di Indonesia, selain karena ia dikenal baik oleh para mukimin asal Indonesia yang belajar padanya juga karena ia adalah murid yang sangat mahabbah terhadap guru-gurunya dan selalu menyambung tali silaturahmi. Ia selalu punya cara bagaimana bisa dekat dan dikenal oleh guru-gurunya.
Pada tahun 1975, ketika usianya menginjak 56 tahun, Abuya Daman pergi kembali ke Mekkah. Lalu pengajaran di pesantren dan di Madrasah diserahkan pada besannya (KH. Memed), menantu-menantunya (KH. Juned dan KH. Uding), dan pada saudara iparnya (KH. Seafulloh). Ketika pergi ke Mekkah, anak-anak Abuya Daman sudah berusia dewasa. Bahkan semuanya sudah berumah tangga.
3.      Kehidupan KH. Damanhuri di Mekkah
Kepergian Abuya Daman ke Mekkah untuk yang kedua kalinya ini tidak dengan tanpa tujuan. Selian untuk menunaikan ibadah haji, abuya juga bermukim di sana selama 30 tahun selain untuk belajar dan mengajar juga membuka usaha penjualan cinderamata bagi WNI yang menunaikan ibadah haji. Di Mekkah abuya tinggal di Jabal Gubes lalu pindah ke Samiyah, dan terakhir ke Jumaidah.
Selama bermukim di Mekkah, Abuya Daman banyak belajar pada guru-guru di sana baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Mekkah. Diantara guru-gurunya yang diketahui berasal dari Indonesia adalah Abuya Jassir yang juga merupkan ayahnya, Syech Yasin Padang, dan Syech Zain Bawayan. Kemudian guru-gurunya yang berasal dari Mekkah yang diketahui di antaranya adalah; Syech Sayyid Alawi, Syech Sayyid Muhammad, Syech Muhammad, Syech Ismail Al Yamani, Syech Ahmad Jabir, Syech Habib Al Kaff—pengajiannya masih berjalan sampai sekarang. Setiap hari kamis Abuya Daman bersama cucunya pergi mengaji ke rumah Syech Zain Bawayan yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi. Syech Zain bawayan ini merupakan guru Abuya Daman yang paling disegani, yang dikenal memiliki suara yang sangat indah. 
Pola belajar yang abuya ikuti adalah bukan belajar atau mengaji secara khusus pada satu per satu guru tapi pengajian umum yang diadakan oleh para syech di sana dengan hari yang berbeda-beda. Setiap ada pengajian ia selalu menyempatkan diri untuk hadir dengan mengajak cucu-cucunya. Ilmu yang diperolehnya dari setiap pengajian selalu ia sampaikan kembali pada jama’ah pengajiannya. Karena di samping belajar, di sana ia juga mengajar. Sama halnya dengan guru-gurunya ia juga mengajar di pengajian umum yang ia adakan setiap hari Jum’at. Setiap hendak membuka pengajian abuya selalu menyuruh cucu-cucunya untuk membacakan Al-Quran dan sholawat terlebih dahulu. Pengajian umum Abuya Daman ini banyak dihadiri oleh para mukimin asal Indonesia. Bahkan beberapa ulama besar Indonesia, khususnya Banten banyak yang belajar padanya. Salah satunya adalah Abuya Otong Nawawi, Ciandur.
Adapun pengajaran secara khusus abuya berikan pada cucu-cucunya dengan waktu yang ia kehendaki sendiri. Dalam mengajar abuya bisa menggunakan tiga bahasa sekaligus, bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab. Selain itu, diketahui pula bahwa Abuya Damanhuri pernah mengajar di salah satu sekolah bernama Darul ‘Ulum di Quday.
Abuya Damanhuri adalah tipe orang tua yang sangat tegas dalam mendidik anak. Abuya juga lebih mengutamakan pendidikan agama pada anak-cucunya. Ketika ada sesuatu yang salah pada anak-anak atau cucu-cucunya, ia selalu menasihati dengan cara yang halus, sehingga yang dinasihati akan merasa segan. Ketika memberikan teguran abuya selalu menggunakan matsal atau perumpamaan, misalnya ketika sedang mengaji cucunya mengantuk sampai tertidur, ketika cucu-cucunya pintar atau bodoh atau sering berbohong dan tidak menulis atau mendengarkan ketika mengaji, maka abuya akan menegurnya dengan perumpamaan yang diucapkan dalam bahasa Arab. Misalnya ketika cucu-cucunya suka berbohong abuya akan berkata “Idza ‘urifal insanu bil kibti lam yazal ladzannaas kaddzaban walau kana thoriqon”.
Selain itu, abuya selalu berpesan pada cucu-cucunya untuk selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan jangan meninggalkan Al-Quran. Karena menurut abuya tidak banyak yang bisa dilakukan oleh cucu-cucunya, selain menghafal Al-Quran. Saat ini pesan abuya terbukti dengan keberhasilan cucu-cucunya kini banyak yang menjadi para penghafal Al-Quran. Selama di Mekkah maupun di Tanah Air banyak orang yang datang untuk meminta nasihat padanya, nasihat yang selalu diberikan adalah perintah untuk memperbanyak membaca sholawat “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammaddin, ‘adada ma fi ’ilmillahi solatan daimatan bidawami mulkillah”.
Di pagi hari, jika tidak ada jadwal pengajian, Abuya Daman selalu meminta cucu-cucunya untuk mengantarnya ke Masjidil Harom untuk shalat dhuha dan I’tikaf. Ia pergi ke Masjidil Harom dengan menggunakan kursi roda, mengingat usianya yang sudah senja. Setelah selesai cucu-cucunya akan kembali ke Masjidil Harom untuk menjemputnya. Hal itu terus dilakukan secara teratur, dengan waktu antar dan jemput yang sudah disepakati. Selama di Mekkah, untuk menu sarapan makanan kesukaan abuya adalah roti dan zaitun.
Abuya Damanhuri meninggal dunia pada bulan Jumadil Awal tahun 1427 H/tahun 2005 di sebuah rumah sakit dan di makamkan di Ma’la dalam usia 85 tahun. Empat puluh hari sebelum Abuya Daman wafat guru beliau Syech Zain Bawayan wafat, setelah itu Abuya Daman merasakan duka yang amat dalam, karena Syech Zain Bawayan merupakan guru yang amat ia segani.

Wawancara;
1.      KH. Uding Bahruddin, Cikadueun-Pandeglang, 04  November 2015
2.      Hj. Sholehah, Cikadueun-Pandeglang, 04 November 2015
3.      H. Makki, Cikadueun-Pandeglang, 06 November 2015
4.      H. Hamud, Cikadueun-Pandeglang, 09 November 2015

*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar