1.
Riwayat
Keluarga
KH.
Damanhuri atau Abuya Daman lahir di Cidahu pada tahun 1920. Ia merupakan anak kedua
dari dua bersaudara dari seorang ayah yang bernama Arman bin Armani dan seorang
ibu bernama Nyai Sanami. Kakak perempuannya bernama Hj. Siti Badriyah. Selain
itu, Abuya Daman juga mempunyai saudara lain dari pernikahan ibunya, Nyai
Sanami dengan Abuya Jassir yang tinggal di Arab Saudi. Di antaranya adalah Hj.
Asmah (menikah dengan Abuya Dimyati Cidahu), Hj. Khodijah, dan H. Muhammad
Arif.
Abuya
Daman menghabiskan masa kecilnya di Arab Saudi, menginjak masa remaja ia
kembali ke Tanah Air dan menghabiskan
masa remajanya sambil belajar di pondok pesantren Abuya Abdul Halim di Kadu
Peusing. Setelah keluar dari pesantren tersebut ia menikah dengan Ibu Hj.
Fidhoh, putri ke-4 dari seorang kyai besar di Cikadueun, KH. Zuhri. Dari
pernikahannya dengan Ibu Hj. Fidhoh dikaruniai enam orang anak, di antaranya:
1. Fauziyah
2. Hj.
Afifah
3. Hj.
Muti’ah
4. Hj.
Enok Mariyam
5. Hj.
Solehah
6. Muhammad
Ketika
anak-anaknya masih sangat kecil, Ibu Hj. Fidhoh meninggal dunia, tak lama
setelah itu Abuya Daman menikah kembali dengan Ibu Faizah yang berasal dari
Cihideung. Dari pernikahan yang kedua ini abuya tidak memiliki keturunan.
Abuya
Damanhuri adalah sosok ulama yang dikenal dengan sifat tawadhunya, hidupnya
banyak dihabiskan untuk belajar dan mengajar, sebisa mungkin ia menjauhi urusan
dunia. Sebagai seorang ulama ia juga dikenal baik pada tetangganya, terlebih
pada keluarga dan kerabatnya. Dalam mendidik anak-anaknya abuya lebih
menekankan pada pengajaran ilmu keagamaan.
2.
Kiprah
dan Karya-karya Abuya Damanhuri
Setelah
menikah dengan Ibu Hj. Fidhoh Abuya Daman membantu mertuanya, KH. Zuhri untuk
sama-sama mengajar di pondok pesantrennya. Dahulu, pondok pesantren ini tidak
memiliki nama. Namun, seiring waktu berjalan, pondok pesantren tersebut dinamai
Pondok Pesantren Nurul Huda. Konon katanya pesantren ini memiliki santri dengan
jumlah yang cukup banyak, hampir mencapai ratusan. Selain itu areal
pesantrennya juga cukup luas. Saat ini pengajaran di Pondok Pesantren Nurul
Huda masih berjalan dengan baik di bawah asuhan KH. Memed yang merupakan
saudara ipar sekaligus besan Abuya Damanhuri.
Selain
turut membantu pengajaran di pondok pesantren yang sudah didirikan oleh
mertuanya, Abuya Daman juga mendirikan percetakan untuk mencetak kitab-kitab
yang menjadi bahan pengajaran di pesantren. Percetakan tersebut bernama Al-Falah.
Orang-orang di sana sering menyebutnya dengan Stensil Al-Falah. Namun, sangat
disayangkan percetakan tersebut keberadaannya tidak bisa dipertahankan sampai
saat ini.
Melihat
perkembangan pondok pesantren yang cukup pesat, perjuangan Abuya Daman dalam
mengembangkan ajaran Islam di Cikaduen tidak berhenti sampai di situ, sekitar
tahun 1960-an ia mendirikan sebuah madrasah yang sekarang disebut dengan
Madrasah Diniyah Awaliyyah Nurul Huda. Madarasah ini didirikan untuk sarana
pendidikan bagi anak-anak di Cikadueun. Madrasah ini terdiri dari empat kelas.
Materi yang diajarkannyapun cukup beragam. di antaranya ilmu bahasa, tauhid,
aqidah, fiqih, nahwu sorof, dan lain sebagainya. Murid-murid di madrasah ini
terbilang cukup banyak, apalagi yang mengajarnya pada saat itu adalah Abuya
Daman langsung dibantu oleh menantu, besan, saudara-saudara ipar, dan
anak-anaknya. Sampai saat ini kegiatan belajar mengajar di MDA Nurul Huda ini
masih berjalan dengan baik dan dengan jumlah murid yang cukup banyak.
Abuya
Daman adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai bidang ilmu agama. Seperti
fiqih, nahwu sorof, ilmu tafsir dan lain sebagainya. Namun, abuya sendiri lebih
dikenal dari keahliannya dalam bidang ilmu tafsir. Maka dari itu tidak heran
jika pada tahun 1960 ia membuka pengajian pasaran bagi para santri dari dalam
maupun dari luar. Diantaranya adalah pengajian Kitab Tafsir Jalalain yang
diadakan setiap bulan Romadhon dan Kitab
Tafsir Munir setiap bulan Robi’ul Awal. Namun, yang masih berjalan sampai
saat ini adalah pengajian pasaran Kitab
Tafsir Jalalain yang diadakan setiap bulan Sya’ban. Pada awalnya pengajian
ini diikuti oleh para santri dengan jumlah yang cukup banyak. Namun, seiring
berjalannya waktu dan seiring dengan perubahan zaman, santri yang mengikuti
pengajian ini tidak sebanyak dulu.
Mengingat
pesan Imam Syafi’i bahwa, Menuntut ilmu
itu ibarat berburu. Hewan buruan akan lepas jika tidak diikat, begitupun dengan
ilmu akan hilang dan terlupakan jika tidak ditulis. Ilmu-ilmu Abuya Daman
sampai saat ini tidak terlupakan karena selain aktif dalam bidang pengajaran
ilmu agama, ia juga merupakan ulama yang cukup produktif. Di sela-sela waktu
senggangnya ia menyempatkan diri untuk menulis atau menuqil. Cukup banyak karya
yang ia hasilkan dengan mengutip dari berbagai kitab, di antaranya adalah;
1.
Kitab
Majmu’atul ‘Ad’iyyah, sebuah kitab yang berisi kumpulan
do’a-do’a yang ia tuqil langsung dari beberapa kitab. Pada tahun 2000,
seseorang dari Lengkong Ulama bernama Baiquni Yasin meminta izin untuk
mencetaknya. Namun sayang, kitab ini tidak edarkan secara luas. Hanya
orang-orang tertentu yang memilikinya.
2.
Kitabul
aurad
3.
Hizib dan wiridan-wiridan.
4.
Dan lain sebagainya
Abuya
Daman adalah sosok ulama yang cukup masyhur di Indonesia, selain karena ia
dikenal baik oleh para mukimin asal Indonesia yang belajar padanya juga karena
ia adalah murid yang sangat mahabbah terhadap guru-gurunya dan selalu
menyambung tali silaturahmi. Ia selalu punya cara bagaimana bisa dekat dan
dikenal oleh guru-gurunya.
Pada
tahun 1975, ketika usianya menginjak 56 tahun, Abuya Daman pergi kembali ke
Mekkah. Lalu pengajaran di pesantren dan di Madrasah diserahkan pada besannya
(KH. Memed), menantu-menantunya (KH. Juned dan KH. Uding), dan pada saudara
iparnya (KH. Seafulloh). Ketika pergi ke Mekkah, anak-anak Abuya Daman sudah
berusia dewasa. Bahkan semuanya sudah berumah tangga.
3.
Kehidupan
KH. Damanhuri di Mekkah
Kepergian
Abuya Daman ke Mekkah untuk yang kedua kalinya ini tidak dengan tanpa tujuan.
Selian untuk menunaikan ibadah haji, abuya juga bermukim di sana selama 30
tahun selain untuk belajar dan mengajar juga membuka usaha penjualan
cinderamata bagi WNI yang menunaikan ibadah haji. Di Mekkah abuya tinggal di
Jabal Gubes lalu pindah ke Samiyah, dan terakhir ke Jumaidah.
Selama
bermukim di Mekkah, Abuya Daman banyak belajar pada guru-guru di sana baik yang
berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari Mekkah. Diantara guru-gurunya yang
diketahui berasal dari Indonesia adalah Abuya Jassir yang juga merupkan ayahnya,
Syech Yasin Padang, dan Syech Zain Bawayan. Kemudian guru-gurunya yang berasal
dari Mekkah yang diketahui di antaranya adalah; Syech Sayyid Alawi, Syech
Sayyid Muhammad, Syech Muhammad, Syech Ismail Al Yamani, Syech Ahmad Jabir,
Syech Habib Al Kaff—pengajiannya masih berjalan sampai sekarang. Setiap hari
kamis Abuya Daman bersama cucunya pergi mengaji ke rumah Syech Zain Bawayan
yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi. Syech Zain bawayan ini merupakan
guru Abuya Daman yang paling disegani, yang dikenal memiliki suara yang sangat
indah.
Pola
belajar yang abuya ikuti adalah bukan belajar atau mengaji secara khusus pada
satu per satu guru tapi pengajian umum yang diadakan oleh para syech di sana
dengan hari yang berbeda-beda. Setiap ada pengajian ia selalu menyempatkan diri
untuk hadir dengan mengajak cucu-cucunya. Ilmu yang diperolehnya dari setiap
pengajian selalu ia sampaikan kembali pada jama’ah pengajiannya. Karena di
samping belajar, di sana ia juga mengajar. Sama halnya dengan guru-gurunya ia
juga mengajar di pengajian umum yang ia adakan setiap hari Jum’at. Setiap
hendak membuka pengajian abuya selalu menyuruh cucu-cucunya untuk membacakan Al-Quran
dan sholawat terlebih dahulu. Pengajian umum Abuya Daman ini banyak dihadiri
oleh para mukimin asal Indonesia. Bahkan beberapa ulama besar Indonesia,
khususnya Banten banyak yang belajar padanya. Salah satunya adalah Abuya Otong
Nawawi, Ciandur.
Adapun
pengajaran secara khusus abuya berikan pada cucu-cucunya dengan waktu yang ia
kehendaki sendiri. Dalam mengajar abuya bisa menggunakan tiga bahasa sekaligus,
bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab. Selain itu,
diketahui pula bahwa Abuya Damanhuri pernah mengajar di salah satu sekolah
bernama Darul ‘Ulum di Quday.
Abuya
Damanhuri adalah tipe orang tua yang sangat tegas dalam mendidik anak. Abuya
juga lebih mengutamakan pendidikan agama pada anak-cucunya. Ketika ada sesuatu
yang salah pada anak-anak atau cucu-cucunya, ia selalu menasihati dengan cara
yang halus, sehingga yang dinasihati akan merasa segan. Ketika memberikan teguran
abuya selalu menggunakan matsal atau perumpamaan, misalnya ketika sedang
mengaji cucunya mengantuk sampai tertidur, ketika cucu-cucunya pintar atau
bodoh atau sering berbohong dan tidak menulis atau mendengarkan ketika mengaji,
maka abuya akan menegurnya dengan perumpamaan yang diucapkan dalam bahasa Arab.
Misalnya ketika cucu-cucunya suka berbohong abuya akan berkata “Idza ‘urifal insanu bil kibti lam yazal
ladzannaas kaddzaban walau kana thoriqon”.
Selain
itu, abuya selalu berpesan pada cucu-cucunya untuk selalu berpegang teguh pada
Al-Quran dan jangan meninggalkan Al-Quran. Karena menurut abuya tidak banyak
yang bisa dilakukan oleh cucu-cucunya, selain menghafal Al-Quran. Saat ini
pesan abuya terbukti dengan keberhasilan cucu-cucunya kini banyak yang menjadi
para penghafal Al-Quran. Selama di Mekkah maupun di Tanah Air banyak orang yang
datang untuk meminta nasihat padanya, nasihat yang selalu diberikan adalah
perintah untuk memperbanyak membaca sholawat “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammaddin, ‘adada ma fi ’ilmillahi solatan
daimatan bidawami mulkillah”.
Di
pagi hari, jika tidak ada jadwal pengajian, Abuya Daman selalu meminta
cucu-cucunya untuk mengantarnya ke Masjidil Harom untuk shalat dhuha dan
I’tikaf. Ia pergi ke Masjidil Harom dengan menggunakan kursi roda, mengingat
usianya yang sudah senja. Setelah selesai cucu-cucunya akan kembali ke Masjidil
Harom untuk menjemputnya. Hal itu terus dilakukan secara teratur, dengan waktu
antar dan jemput yang sudah disepakati. Selama di Mekkah, untuk menu sarapan
makanan kesukaan abuya adalah roti dan zaitun.
Abuya
Damanhuri meninggal dunia pada bulan Jumadil Awal tahun 1427 H/tahun 2005 di
sebuah rumah sakit dan di makamkan di Ma’la dalam usia 85 tahun. Empat puluh
hari sebelum Abuya Daman wafat guru beliau Syech Zain Bawayan wafat, setelah
itu Abuya Daman merasakan duka yang amat dalam, karena Syech Zain Bawayan
merupakan guru yang amat ia segani.
Wawancara;
1. KH.
Uding Bahruddin, Cikadueun-Pandeglang, 04
November 2015
2. Hj.
Sholehah, Cikadueun-Pandeglang, 04 November 2015
3. H.
Makki, Cikadueun-Pandeglang, 06 November 2015
4. H.
Hamud, Cikadueun-Pandeglang, 09 November 2015
*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar