Riwayat Keluarga
Desa
Cikadueun disebut sebagai desa yang agamis. Hal ini didasarkan pada banyaknya
para ulama dan para santri di desa ini. Salah satu ulama yang berperan penting
dalam perkembangan dan kemajuan Islam di Desa Cikadueun adalah Abuya Aliyuddin.
Ulama yang tidak hanya berjuang dalam mengembangkan keislaman tapi juga turut membantu perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda.
Abuya
Aliyuddin lahir pada tahun 1891 di Kp. Jaha, Cikadueun. Tanggal kelahirannya
tidak diketahui dengan pasti. Abuya merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Ayahnya bernama KH. Aslah dan ibunya bernama Arnawati. Saudaranya bernama Unib.
Masa kecil abuya banyak dihabiskan di Kp. Jaha. Abuya Ali menikah ketika
usianya sekitar 20 tahunan, ia menikah dengan Ibu Maemunah dari Desa Koncang.
Dari pernikahannya ini abuya dikaruniai
orang anak. Tiga di antaranya meninggal ketika masih kecil. Yang tersisa
enam orang anak yang kemudian meneruskan jejak abuya dalam mengembangkan ajaran
Islam. Di antaranya adalah; KH. Misbah, KH. Udi, KH. Ambi, KH. Aton, dan Hj.
Iyah.
Setelah
menikah abuya sempat berpindah-pindah tempat tinggal, sampai akhirnya menetap
di tempat yang saat ini ditempati oleh keturunannya, sekitar tahun 1925, ketika
abuya berusia 33 tahun, abuya mulai menetap di Desa Cikadueun, tepatnya di
sebelah timur tempat pemakaman Syech Maulana Manshuruddin Cikadueun. Pada masa
inilah abuya mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok
Pesantren al Manshuriyah.
Riwayat Pendidikan
Semasa
kecil abuya sudah ditempa dengan pendidikan agama langsung dari ayahnya,
kemudian ia melanjutkan belajarnya pada KH. Isa, salah satu ulama besar di Kp.
Jaha, Cikadueun. Setelah menginjak usia remaja
abuya melanjutkan pendidikan agamanya ke salah satu pondok pesantren di Bojong
Menteng. Dan yang terakhir abuya belajar pada Abuya Abdul Halim, Kadu Peusing
selama tujuh tahun. Diketahui bahwa abuya juga pernah berguru pada Abuya Jassir
ketika ia pergi ke tanah suci pada tahun 1930 dan mukim di sana selama satu
tahun. Kemudian pada tahun 1975 ia pergi kembali ke tanah suci untuk menunaikan
ibadah haji.
Kiprah dan Kontribusi
Abuya Aliyuddin
Abuya Aliyuddin adalah sosok ulama yang zuhud dan
sederhana. Ia juga dikenal dengan ketegasannya dalam mendidik para santri.
Sehingga tidak heran banyak santri-santrinya yang kemudian menjadi orang-orang
yang berhasil. Ia adalah ulama yang mencetak generasi-generasi penerus Islam di
masa kini. Selama 53 tahun, dengan penuh kesabaran, keuletan dan semangat yang
tinggi beliau telah berhasil menjadikan pesantren banyak didatangi oleh para
santri dari berbagai daerah baik dari di Banten maupun luar Banten, terutama
santri yang paling banyak berguru datang dari daerah selatan Banten seperti
Cibaliung, Munjul, Saketi dan lain sebagainya. Konon katanya santrinya mencapai
ratusan orang.
Pola pengajaran yang diterapkan pada santri-santri
di pesantrennya adalah pola pengajaran seperti di pesantren pada umumnya, yaitu
sorogan dan bandungan. Semua kajian kelimuan diajarkan pada para santri, baik
itu tafsir, fiqih, tasawuf, nahwu dan sorof, dan lain sebagainya. Namun yang
lebih ditekankan adalah ilmu fiqih.
Diceritakan bahwa abuya adalah guru yang perhatian
pada santri-santrinya. Pernah suatu ketika ada seorang santri yang menghadap
abuya untuk meminta izin pulang ke rumah karena kehabisan beras. Kemudian abuya
memanggil seseorang untuk membawakan sekarung beras lalu diberikan pada santri
tersebut.
Perjuangannya dalam mengembangkan ajaran Islam di
Desa Cikadueun penuh dengan tantangan. Baik yang datang dari masyarakat maupun
yang datang dari luar masyarakat, yaitu para penjajah Belanda. Abuya hidup di
zaman kolonialisme Belanda, juga merasakan bagaimana rasanya melakukan dan mendapatkan
perlawanan dari para tentara Belanda. Selain aktif di bidang kajian keislaman
abuya juga aktif melakukan gerilya bersama rekan-rekannya. Pernah suatu ketika
abuya diseret oleh tentara Belanda dari Desa Cikadueun sampai Cimanuk. Bahkan
pesantrenpun pernah jadi sasaran para tentara Belanda yang mengira pesantren
tersebut adalah markas para gerilyawan. Sehingga mengakibatkan suasana yang
tidak aman di Desa Cikadueun.
Selain terlibat langsung dalam perlawanan abuya juga
menjadi tempat bagi masyarakat dan para gerilyawan untuk meminta nasihat dan
meminta pengobatan. Pada masa itu, pengobatan medis tidak bisa diperoleh dengan
mudah. Sehingga untuk mengobati luka dan sakit mereka datang pada abuya untuk
dido’akan. selain itu, dalam bidang politik abuya memang tidak terlibat, tapi
ia sangat mendukung eksistensi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
Dalam mendidik anak-anaknya abuya sangat tegas.
Anak-anaknya diajarkan untuk hidup sederhana dan giat mengaji. Bahkan abuya
selalu berpesan bahwa jika ingin bahagia dunia akhirat fokuslah mengaji. Abuya
Aliyuddin wafat setelah selesai berwudhu untuk menunaikan ibadah sholat
maghrib, tepatnya pada hari selasa tanggal 10 Muharram 1398 atau tahun 1978. Setelah
abuya wafat Pondok Pesantren Al Manshuriyah berganti nama menjadi Pondok
Pesantren Bani Ali. Saat ini kegiatan pengajaran masih berlangsung dengan baik
di bawah asuhan anak dan cucu Abuya Aliyuddin.
Sumber
Wawancara dengan KH. Udi, Saketi, 09
November 2015.
Wawancara dengan KH.
Juned, Cikadueun, 10 November 2015.
*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam
Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016