Rabu, 24 Oktober 2018

Biografi K.H. Otong Nawawi Ciandur


Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selagi dia tidak menulis dia akan hilang dalam sejarah. Menulis adalah mengabadikan sejarah”. KH. Otong Nawawi atau biasa dipanggil Abuya Otong adalah salah satu ulama yang memiliki kesadaran untuk mengabadikan sejarah lewat tulisan. Riwayat hidupnya ia tulis dalam sebuah buku harian yang sampai saat ini masih tersimpan dengan baik yang kini bisa digunakan sebagai salah satu bukti sejarah. 

Riwayat Keluarga
Abuya Otong Lahir di Manunjang, Saketi, Pandeglang pada hari Jum’at 7 Muharram tahun 1344 H/1925 M. Abuya Otong adalah putra keempat dari empat bersaudara, ia anak lelaki satu-satunya. Saudara-saudaranya bernama (1)  Ibu Enong, (2) Ibu Eneng, dan (3) Ibu Enjen. Ayahnya bernama KH. Aslah yang merupakan salah satu ulama yang patut diperhitungkan, bahkan disebutkan pernah menetap cukup lama di Mekkah untuk mengajar di pengajian. Ibunya bernama Hj. Siti Khodijah bin H. Sanaka, dari Manunjang, Saketi. Dari garis ayah Abuya Otong memiliki hubungan geneologis dengan Syech Daud Cigondang, berikut silsilahnya:
1.      Syech Daud Cigondang
2.      Syech Ajib Sangkan Kananga
3.      Baedhowi
4.      Ali Alan
5.      H. Ashob
6.      H. Wasijan
7.      H. Aslah
8.      KH. Otong Nawawi
Sedangkan dari garis ibu, abuya memiliki hubungan geneologis dengan Syech Masajan Wiralaksana yang merupakan salah satu prajurit Kesultanan Banten yang menetap di Ciandur setelah mengalahkan seorang pandai besi dari Ciandur.
Sejak kecil abuya sudah ditinggalkan oleh orang tuanya, sehingga ia banyak menghabiskan masa kecilnya dengan tinggal bersama saudara perempuannya di Ciandur. Sebelum wafat, ayahnya, H. Aslah menitipkan amanah pada saudaranya KH. Ghofur, amanah itu berupa buku yang berisi suatu amalan. Dalam amanahnya, KH. Aslah mengatakan agar buku tersebut diberikan pada anaknya yaitu KH. Otong Nawawi, jika ia sudah besar dan benar-benar sudah bisa mengaji. Singkat cerita, ketika usia Abuya Otong mencapai belasan tahun KH. Ghofur menyampaikan amanah tersebut padanya. Setelah itu ia pergi belajar di beberapa pondok pesantren.
Sepulang dari pesantren, abuya kembali menemui pamannya untuk mengambil buku yang diamanahkan oleh ayahnya. Setelah dibuka ternyata buku tersebut bertuliskan sebuah amalan yang dikatakan di dalamnya jika ingin hidup bahagia dunia dan akhirat harus mengamalkan sholat hajat empat roka’at dan dalam setiap roka’atnya setelah membaca fatihah harus membaca Surat Al Ikhlas sesuai dengan urutan roka’at masing-masing. Amalan tersebut di kemudian hari terus diwariskan kepada anak-cucunya hingga saat ini.
Diketahui bahwa abuya memiliki istri bernama dengan Ibu Hj. Encuk Hasanah, putri seorang lurah dari Bulakan yang bernama Lurah Hasan.[1]Dari pernikahannya ini abuya dikaruniai sepuluh orang anak, empat orang putra dan enam orang putri, di antaranya adalah sebagai berikut;(1) Hj. Enjah fauziah, (2) Hj. Endoh Roudhoh, (3) H. Ambeng Humaedi, (4) Hj. Tami, (5) Hj. Enok Faozah, (6) Hj. Aang Ahdori, (7) Hj. Euis muslihah, (8) H. Ahmad Ambari, (9) Hj. Ade Buraedah, dan (10) H. Abdul faqih Fuadi. Setelah Ibu Hj. Encuk Hasanah meninggal[2], abuya menikah kembali dengan Umi Eneng dari Sumur, Pandeglang. 

Riwayat pendidikan
Setiap manusia dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan seseorang berkembang karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Abuya Otong merupakan seorang anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata rekan-rekan seperjuangannya. Semasa kecil ia mendapatkan pendidikan formal di SR, karena ia memiliki nilai yang cukup baik, untuk segera tamat dari SR tidak membutuhkan waktu yang lama. lulus dari SR sekitar tahun 1938. Setelah itu dilanjut ke madrasah, keluar pada tahun 1939. Setelah menamatkan sekolah formalnya, pada tahun 1939 Abuya Otong melanjutkan pendidikannya ke sebuah pondok pesantren di Rocek yang dipimpin oleh Syech Hasan Mushthofa selama tiga tahun. Setelah itu pada tahun 1941 beliau melanjutkan mondok di Kadu Cekek, Cipeucang di pondok pesantren Syech Syaubari Assujahi kemudian berguru juga pada puteranya, Syech Junaidi Assujahi. Dari Kadu Cekek ia melanjutkan ke Cikawung, berguru pada Syech Ahmad, dan yang terakhir, sebelum abuya benar-benar menetap di Ciandur adalah belajar di pondok pesantren yang diasuh oleh Syech Abdul Qodir di Gentur, Cianjur selama tiga tahun.
Selain itu, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya Otong juga pernah belajar ke salah satu ulama Banten yang mukim di tanah suci, yaitu Abuya Damanhuri. Abuya Otong mengikuti pengajian yang diadakan oleh Abuya Daman setiap hari Jum’at. 

Kiprah Abuya Otong Nawawi
Pada saat berusia 23 tahun Abuya Otong menikah dengan Ibu Hj. Encuk, lalu menetap di Ciandur dan mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Thoriqotul Huda al Hasanah. Nama yang dicetuskan oleh salah satu santrinya yang memiliki makna jalan untuk mendapatkan petunjuk (kebaikan). Sebagaimana diketahui bahwa, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang berperan penting dalam mencetak generasi-generasi Islami. Sesuai dengan namanya, pondok pesantren yang didirikan oleh Abuya Otong ini mampu mencetak santri-santri yang bisa hidup dengan baik di lingkungan masyarakat, karena pola pendidikan yang dikedepankan oleh Abuya Otong selain ilmu keagamaan juga ilmu dalam bermuamalah.
Secara spesifik, dari segi keilmuan Abuya Otong tidak dikenal dengan keahliannya dalam bidang ilmu tertentu. Seperti beberapa ulama yang dikenal ahli dalam satu bidang ilmu seperti tafsir, fiqih, tarekat dan lain sebagainya. Sehingga pengajaran di pesantrenpun dikonsentrasikan dalam bidang ilmu tersebut. Berbeda dengan Abuya Otong yang lebih banyak mengedepankan praktik bagaimana tata cara hidup di masyarakat untuk para santri, dan bagaimana santri-santrinya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Membiasakan sholat berjama’ah, tidak meninggalkan sarung dan kopeah, bisa mencangkul, bisa ngaduk semen dan tentunya yang paling penting adalah berakhlakul karimah. Tidak akan diistiqomahkan santrinya jika terlihat masih belum punya kemampuan hidup di masyarakat, santri itu menurutnya tidak hanya bisa ngaji kitab, tapi juga harus bisa ngaji diri, agar punya bekal untuk hidup di masyarakat dan bisa berguna untuk masyarakat. Dengan pola pendidikan demikian, banyak santri-santrinya yang kemudian menjadi orang yang berhasil.
Sebagai seorang ayah, dalam mendidik anak-anaknya abuya selalu mengedepankan akhlak. Ketika memberi nasihat tidak hanya lewat ucapan tapi juga langsung ia praktikan dengan perbuatan. Seperti membiasakan sholat berjama’ah, mengaji, selalu berpakaian rapih dan sopan, dan lain sebagainya.
Selain mengajarkan agama pada para santri, abuya juga mengajarkan pada masyarakat sekitar dengan ceramah dari satu tempat ke tempat lain dan mengadakan kegiatan pengajian setiap hari kamis pagi untuk bapak-bapak dan setiap hari jum’at pagi untuk ibu-ibu di Masjid Thoriqotul Huda. Saat ini kegiatan pengajian tersebut masih berjalan dengan baik.
Selain aktif mengajar di pesantren, abuya juga pernah aktif di bidang politik, dengan bergabung dalam beberapa partai politik, di antaranya adalah PPP, GOLKAR dan PKB. Saat bergabung dengan golkar abuya sempat mendapatkan tentangan dari keluarga. Tapi, abuya punya alasan tersendiri kenapa bergabung dengan GOLKAR, diantaranya adalah pada saat itu dunia politik didominasi dan dimonopoli oleh GOLKAR, sehingga abuya berpikiran jika demikian bagaimana para ulama di PPP bisa berdakwah kalau semua aspek didominasi oleh GOLKAR, maka dari itu abuya bergabung dengan partai berlambang pohon beringin itu, selain itu alasan lain abuya bergabung dengan GOLKAR karena berdasarkan jawaban dari hasil shalat istikharahnya.
Abuya otong juga merupakan seorang ulama yang cukup produktif dengan banyak mengutip catatan-catatan penting dari kitab-kitab yang kemudian beliau tulis dalam sebuah buku untuk selanjutnya beliau ajarkan kembali pada para santrinya. Secara umum karya-karyanya yang dikenal orang memang tidak ada. Tapi, secara khusus abuya menulis sebuah buku yang berisi khutbah jum’at. khutbah jum’at tersebut dari dulu sampai sekarang masih selalu digunakan ketika khutbah jum’at di Masjid Thoriqotul Huda. Selain itu, abuya juga pernah menulis satu buku yang berjudul Targhibul Ikhwan, buku ini merupakan nadzom sunda yang berisi tentang rukun Islam, rukun iman, dan aqidah, biasanya nadzom ini sering dilantunkan di masjid ketika menjelang adzan maghrib. 

Hagiografi
Abuya Otong sudah diakui oleh beberapa ulama bahwa ia merupakan seseorang yang dimuliakan oleh Allah. do’a-do’anya mudah dikabulkan. Suatu ketika ada santri yang diperintahkan oleh abuya untuk pulang dan mendirikan pesantren di kampung halamannya padahal santri tersebut belum bisa ngaji. Tapi karena do’a dan ridho dari guru, santri tersebut memiliki santri yang banyak dan kehidupan yang baik. Kemudian, pernah suatu hari ketika hendak membangun pesantren, abuya banyak meminta pada Allah agar diberikan banyak rizqi. Keesokan harinya ada seorang lelaki berjubah putih datang pada Abuya Otong membawakan banyak uang.
Di samping mendirikan pesantren abuya juga membuka sebuah warung di depan rumahnya. Suatu hari ada seorang perempuan hendak membeli kecap sachet, tapi yang ada hanya kecap dalam botol. Entah mungkin perempuan tersebut merasa tidak dilayani dengan baik, maka dia mengadu pada suaminya yang merupakan seorang tentara. Singkat cerita datanglah tentara itu ke rumah abuya dan hendak menembak abuya dengan senapannya. Tapi ketika hendak menembak, pelurunya tidak keluar.
Abuya Otong wafat pada malam Selasa, 14 Romadhon 1423 H bertepatan dengan 19 November 2002 dalam usia 90 tahun. Abuya meninggal di Ciandur dan dimakamkan di Kp. Pasir Manggu, di kebun milik pribadi. Suatu ketika, sebelum wafat Abuya pergi kebun tersebut bersama istrinya, Ibu Hj. Encuk. Ia berpesan agar ketika wafat nanti dimakamkan di tempat tersebut. Setelah wafat dimakamkan disana berdampingan dengan makam istrinya yang telah lebih dulu wafat. Kepergian Abuya Otong meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga juga bagi masyarakat.

Sumber
Wawancara bersama Bapak H. A. A . Ciandur, Minggu, 08 November 2015
Wawancara bersama H. A. B, Ciandur, Minggu, 15 November 2015


[1] Karena kecintaannya pada ulama dan santri, seorang lurah dari Bulakan ingin sekali memiliki menantu seorang santri yang bisa mengaji yang diharapkan bisa membimbing putrinya. Maka dinikahkanlah Abuya Otong dengan putrinya Hj. Encuk Hasanah, dan apapun yang diinginkan oleh abuya akan dipenuhi oleh mertuanya. Pada saat menikah, abuya diberikan lampu pertomak dan sebuah sepeda oleh mertuanya, dua benda tersebut pada masa itu memiliki nilai yang cukup tinggi.
[2] Ibu Hj. Encuk Hasanah meninggal ketika Abuya Otong sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci. 


*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016

3 komentar:

  1. Maaf seribu maaf kang
    Saya boleh minta alamat rumah dari KH. Ahmad Ambari anak dari abuya saketi?

    BalasHapus
  2. di ciandur. masuk gang langsung ada pesantren. rumahnya di sekitar situ

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum. Terimakasih telah menuliskan riwayat KH.Otong Nawawi.
    Dan kebetulan sanad keilmuan yang saya dapatkan itu dari beliau, Guru saya muridnya KH.Otong Nawawi. Guru saya sering menyebut nya Abah Ciandur.

    BalasHapus