Sastrawan
Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selagi dia tidak menulis dia
akan hilang dalam sejarah. Menulis adalah mengabadikan sejarah”. KH. Otong
Nawawi atau biasa dipanggil Abuya Otong adalah salah satu ulama yang memiliki
kesadaran untuk mengabadikan sejarah lewat tulisan. Riwayat hidupnya ia tulis
dalam sebuah buku harian yang sampai saat ini masih tersimpan dengan baik yang
kini bisa digunakan sebagai salah satu bukti sejarah.
Riwayat Keluarga
Abuya
Otong Lahir di Manunjang, Saketi, Pandeglang pada hari Jum’at 7 Muharram tahun
1344 H/1925 M. Abuya Otong adalah putra keempat dari empat bersaudara, ia anak
lelaki satu-satunya. Saudara-saudaranya bernama (1) Ibu Enong, (2) Ibu Eneng, dan (3) Ibu Enjen. Ayahnya
bernama KH. Aslah yang merupakan salah satu ulama yang patut diperhitungkan,
bahkan disebutkan pernah menetap cukup lama di Mekkah untuk mengajar di
pengajian. Ibunya bernama Hj. Siti Khodijah bin H. Sanaka, dari Manunjang,
Saketi. Dari garis ayah Abuya Otong memiliki hubungan geneologis dengan Syech Daud
Cigondang, berikut silsilahnya:
1. Syech
Daud Cigondang
2. Syech
Ajib Sangkan Kananga
3. Baedhowi
4. Ali
Alan
5. H.
Ashob
6. H.
Wasijan
7. H.
Aslah
8. KH.
Otong Nawawi
Sedangkan
dari garis ibu, abuya memiliki hubungan geneologis dengan Syech Masajan
Wiralaksana yang merupakan salah satu prajurit Kesultanan Banten yang menetap
di Ciandur setelah mengalahkan seorang pandai besi dari Ciandur.
Sejak
kecil abuya sudah ditinggalkan oleh orang tuanya, sehingga ia banyak
menghabiskan masa kecilnya dengan tinggal bersama saudara perempuannya di
Ciandur. Sebelum wafat, ayahnya, H. Aslah menitipkan amanah pada saudaranya KH.
Ghofur, amanah itu berupa buku yang berisi suatu amalan. Dalam amanahnya, KH.
Aslah mengatakan agar buku tersebut diberikan pada anaknya yaitu KH. Otong
Nawawi, jika ia sudah besar dan benar-benar sudah bisa mengaji. Singkat cerita,
ketika usia Abuya Otong mencapai belasan tahun KH. Ghofur menyampaikan amanah
tersebut padanya. Setelah itu ia pergi belajar di beberapa pondok pesantren.
Sepulang
dari pesantren, abuya kembali menemui pamannya untuk mengambil buku yang
diamanahkan oleh ayahnya. Setelah dibuka ternyata buku tersebut bertuliskan
sebuah amalan yang dikatakan di dalamnya jika ingin hidup bahagia dunia dan
akhirat harus mengamalkan sholat hajat empat roka’at dan dalam setiap
roka’atnya setelah membaca fatihah harus membaca Surat Al Ikhlas sesuai dengan
urutan roka’at masing-masing. Amalan tersebut di kemudian hari terus diwariskan
kepada anak-cucunya hingga saat ini.
Diketahui
bahwa abuya memiliki istri bernama dengan Ibu Hj. Encuk Hasanah, putri seorang
lurah dari Bulakan yang bernama Lurah Hasan.[1]Dari
pernikahannya ini abuya dikaruniai sepuluh orang anak, empat orang putra dan
enam orang putri, di antaranya adalah sebagai berikut;(1) Hj. Enjah fauziah, (2)
Hj. Endoh Roudhoh, (3) H. Ambeng Humaedi, (4) Hj. Tami, (5) Hj. Enok Faozah, (6)
Hj. Aang Ahdori, (7) Hj. Euis muslihah, (8) H. Ahmad Ambari, (9) Hj. Ade
Buraedah, dan (10) H. Abdul faqih Fuadi. Setelah Ibu Hj. Encuk Hasanah
meninggal[2],
abuya menikah kembali dengan Umi Eneng dari Sumur, Pandeglang.
Riwayat pendidikan
Setiap
manusia dilahirkan dengan tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan
seseorang berkembang karena banyaknya faktor yang mempengaruhi. Abuya Otong
merupakan seorang anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata rekan-rekan
seperjuangannya. Semasa kecil ia mendapatkan pendidikan formal di SR, karena ia
memiliki nilai yang cukup baik, untuk segera tamat dari SR tidak membutuhkan
waktu yang lama. lulus dari SR sekitar tahun 1938. Setelah itu dilanjut ke
madrasah, keluar pada tahun 1939. Setelah menamatkan sekolah formalnya, pada tahun
1939 Abuya Otong melanjutkan pendidikannya ke sebuah pondok pesantren di Rocek
yang dipimpin oleh Syech Hasan Mushthofa selama tiga tahun. Setelah itu pada
tahun 1941 beliau melanjutkan mondok di Kadu Cekek, Cipeucang di pondok
pesantren Syech Syaubari Assujahi kemudian berguru juga pada puteranya, Syech
Junaidi Assujahi. Dari Kadu Cekek ia melanjutkan ke Cikawung, berguru pada
Syech Ahmad, dan yang terakhir, sebelum abuya benar-benar menetap di Ciandur
adalah belajar di pondok pesantren yang diasuh oleh Syech Abdul Qodir di
Gentur, Cianjur selama tiga tahun.
Selain
itu, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya Otong juga pernah belajar ke salah
satu ulama Banten yang mukim di tanah suci, yaitu Abuya Damanhuri. Abuya Otong
mengikuti pengajian yang diadakan oleh Abuya Daman setiap hari Jum’at.
Kiprah Abuya Otong Nawawi
Pada
saat berusia 23 tahun Abuya Otong menikah dengan Ibu Hj. Encuk, lalu menetap di
Ciandur dan mulai merintis pendirian pondok pesantren yang diberi nama Pondok
Pesantren Thoriqotul Huda al Hasanah. Nama yang dicetuskan oleh salah satu
santrinya yang memiliki makna jalan untuk
mendapatkan petunjuk (kebaikan). Sebagaimana diketahui bahwa, pesantren
adalah salah satu lembaga pendidikan yang berperan penting dalam mencetak
generasi-generasi Islami. Sesuai dengan namanya, pondok pesantren yang
didirikan oleh Abuya Otong ini mampu mencetak santri-santri yang bisa hidup
dengan baik di lingkungan masyarakat, karena pola pendidikan yang dikedepankan
oleh Abuya Otong selain ilmu keagamaan juga ilmu dalam bermuamalah.
Secara
spesifik, dari segi keilmuan Abuya Otong tidak dikenal dengan keahliannya dalam
bidang ilmu tertentu. Seperti beberapa ulama yang dikenal ahli dalam satu
bidang ilmu seperti tafsir, fiqih, tarekat dan lain sebagainya. Sehingga
pengajaran di pesantrenpun dikonsentrasikan dalam bidang ilmu tersebut. Berbeda
dengan Abuya Otong yang lebih banyak mengedepankan praktik bagaimana tata cara
hidup di masyarakat untuk para santri, dan bagaimana santri-santrinya bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Membiasakan sholat berjama’ah,
tidak meninggalkan sarung dan kopeah, bisa mencangkul, bisa ngaduk semen dan
tentunya yang paling penting adalah berakhlakul karimah. Tidak akan
diistiqomahkan santrinya jika terlihat masih belum punya kemampuan hidup di
masyarakat, santri itu menurutnya tidak hanya bisa ngaji kitab, tapi juga harus
bisa ngaji diri, agar punya bekal untuk hidup di masyarakat dan bisa berguna
untuk masyarakat. Dengan pola pendidikan demikian, banyak santri-santrinya yang
kemudian menjadi orang yang berhasil.
Sebagai
seorang ayah, dalam mendidik anak-anaknya abuya selalu mengedepankan akhlak.
Ketika memberi nasihat tidak hanya lewat ucapan tapi juga langsung ia praktikan
dengan perbuatan. Seperti membiasakan sholat berjama’ah, mengaji, selalu
berpakaian rapih dan sopan, dan lain sebagainya.
Selain
mengajarkan agama pada para santri, abuya juga mengajarkan pada masyarakat
sekitar dengan ceramah dari satu tempat ke tempat lain dan mengadakan kegiatan
pengajian setiap hari kamis pagi untuk bapak-bapak dan setiap hari jum’at pagi
untuk ibu-ibu di Masjid Thoriqotul Huda. Saat ini kegiatan pengajian tersebut
masih berjalan dengan baik.
Selain
aktif mengajar di pesantren, abuya juga pernah aktif di bidang politik, dengan
bergabung dalam beberapa partai politik, di antaranya adalah PPP, GOLKAR dan
PKB. Saat bergabung dengan golkar abuya sempat mendapatkan tentangan dari
keluarga. Tapi, abuya punya alasan tersendiri kenapa bergabung dengan GOLKAR,
diantaranya adalah pada saat itu dunia politik didominasi dan dimonopoli oleh
GOLKAR, sehingga abuya berpikiran jika demikian bagaimana para ulama di PPP bisa
berdakwah kalau semua aspek didominasi oleh GOLKAR, maka dari itu abuya
bergabung dengan partai berlambang pohon beringin itu, selain itu alasan lain
abuya bergabung dengan GOLKAR karena berdasarkan jawaban dari hasil shalat
istikharahnya.
Abuya
otong juga merupakan seorang ulama yang cukup produktif dengan banyak mengutip
catatan-catatan penting dari kitab-kitab yang kemudian beliau tulis dalam
sebuah buku untuk selanjutnya beliau ajarkan kembali pada para santrinya. Secara
umum karya-karyanya yang dikenal orang memang tidak ada. Tapi, secara khusus
abuya menulis sebuah buku yang berisi khutbah jum’at. khutbah jum’at tersebut
dari dulu sampai sekarang masih selalu digunakan ketika khutbah jum’at di
Masjid Thoriqotul Huda. Selain itu, abuya juga pernah menulis satu buku yang
berjudul Targhibul Ikhwan, buku ini
merupakan nadzom sunda yang berisi tentang rukun Islam, rukun iman, dan aqidah,
biasanya nadzom ini sering dilantunkan di masjid ketika menjelang adzan
maghrib.
Hagiografi
Abuya
Otong sudah diakui oleh beberapa ulama bahwa ia merupakan seseorang yang
dimuliakan oleh Allah. do’a-do’anya mudah dikabulkan. Suatu ketika ada santri
yang diperintahkan oleh abuya untuk pulang dan mendirikan pesantren di kampung
halamannya padahal santri tersebut belum bisa ngaji. Tapi karena do’a dan ridho
dari guru, santri tersebut memiliki santri yang banyak dan kehidupan yang baik.
Kemudian, pernah suatu hari ketika hendak membangun pesantren, abuya banyak
meminta pada Allah agar diberikan banyak rizqi. Keesokan harinya ada seorang
lelaki berjubah putih datang pada Abuya Otong membawakan banyak uang.
Di
samping mendirikan pesantren abuya juga membuka sebuah warung di depan
rumahnya. Suatu hari ada seorang perempuan hendak membeli kecap sachet, tapi
yang ada hanya kecap dalam botol. Entah mungkin perempuan tersebut merasa tidak
dilayani dengan baik, maka dia mengadu pada suaminya yang merupakan seorang
tentara. Singkat cerita datanglah tentara itu ke rumah abuya dan hendak
menembak abuya dengan senapannya. Tapi ketika hendak menembak, pelurunya tidak
keluar.
Abuya
Otong wafat pada malam Selasa, 14 Romadhon 1423 H bertepatan dengan 19 November
2002 dalam usia 90 tahun. Abuya meninggal di Ciandur dan dimakamkan di Kp.
Pasir Manggu, di kebun milik pribadi. Suatu ketika, sebelum wafat Abuya pergi kebun
tersebut bersama istrinya, Ibu Hj. Encuk. Ia berpesan agar ketika wafat nanti
dimakamkan di tempat tersebut. Setelah wafat dimakamkan disana berdampingan
dengan makam istrinya yang telah lebih dulu wafat. Kepergian Abuya Otong
meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga juga bagi masyarakat.
Sumber
Wawancara bersama Bapak H. A. A .
Ciandur, Minggu, 08 November 2015
Wawancara bersama H. A. B, Ciandur,
Minggu, 15 November 2015
[1] Karena kecintaannya pada ulama
dan santri, seorang lurah dari Bulakan ingin sekali memiliki menantu seorang
santri yang bisa mengaji yang diharapkan bisa membimbing putrinya. Maka
dinikahkanlah Abuya Otong dengan putrinya Hj. Encuk Hasanah, dan apapun yang
diinginkan oleh abuya akan dipenuhi oleh mertuanya. Pada saat menikah, abuya
diberikan lampu pertomak dan sebuah sepeda oleh mertuanya, dua benda tersebut
pada masa itu memiliki nilai yang cukup tinggi.
[2] Ibu Hj. Encuk Hasanah meninggal
ketika Abuya Otong sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci.
*Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Pusat Litbang Kementrian Agama dalam Ensiklopedia Ulama-Ulama Banten tahun 2016
Maaf seribu maaf kang
BalasHapusSaya boleh minta alamat rumah dari KH. Ahmad Ambari anak dari abuya saketi?
di ciandur. masuk gang langsung ada pesantren. rumahnya di sekitar situ
BalasHapusAssalamualaikum. Terimakasih telah menuliskan riwayat KH.Otong Nawawi.
BalasHapusDan kebetulan sanad keilmuan yang saya dapatkan itu dari beliau, Guru saya muridnya KH.Otong Nawawi. Guru saya sering menyebut nya Abah Ciandur.